Oleh: Aryanto AbidinHasil pemilu legislatif versi (semua) lembaga survey, menempatkan Partai Demokrat di urutan teratas perolehan sementara suara nasional. Partai Demokrat memperoleh suara 20,34 persen, di bandingkan dengan partai besar seperti Partai Golkar dan PDIP masing-masing dengan 14,85 dan 14,07 persen (Tribun Timur, 12/04). Hasil yang sama juga ditunjukan oleh hasil perhitungan sementara KPU, Partai Demokrat memperoleh suara 20,23 persen, Partai Golkar dan PDIP masing-masing dengan 14,42 dan 14,34 persen (real count KPU, 13/04). Ini mengejutkan bagi lawan politik Partai Demokrat, sekaligus surprise bagi Partai Demokrat. Partai Demokrat yang pada pemilu 2004 lalu hanya memperoleh 7 persen atau masuk lima besar urutan partai yakni peringkat ke 5. Ini artinya, Partai Demokrat mengalami peningkatan suara yang signifikan, yakni sekitar 300 persen.
Hal ini melejitkan kepercayaan diri Partai Demokrat, yang jauh hari sebelumnya mengusung SBY sebagai capres Partai Demokrat. Hal yang sebaliknya justru terjadi di kubu capres lainnya. Sebut saja kubu Golden Triangel (Partai Golkar, PDIP, dan PPP), Gerindra, dan Hanura “buru-buru” melakukan konsolidasi. Walaupun mereka tidak secara terang-terangan menyebutkan kemana arah koalisi akan dibawa. Akan tetapi, tema besar yang diendus ke publik adalah ketidak beresan data pemilih. Apakah ini adalah indikasi untuk melakukan counter terhadap hasil pemilu? Entahlah! Saya rasa, terlalu dini untuk menyimpulkan seperti itu.
Ketidak Pastian
Melejitnya suara Partai Demokrat, telah memporak porandakan skenario partai-partai besar. Sebut saja partai Golkar dan PDIP. Partai golkar kini harus berpikir ulang untuk mengajukan JK sebagai capres. PDIP pun demikan, ia harus mencari sekutu koalisi agar dapat mencalonkan Megawati sebagai capres. Sebelum pemilu legislatif, kedua partai ini melakukan penjajakan satu sama lain. Klimaksnya adalah terbentuknya blok koalisi dengan nama Golden Triangel dan Golden Bridge. Koalisi Golden Triangel dimotori oleh tiga partai yakni Partai Golkar, PDIP, PPP dan Gerindra yang menyusul belakangan. Kubu Partai Demokrat pun tak mau kalah. Kolaisi Golden Bridge mencuat ke publik yang dimotori oleh Partai Demokrat, PKS dan PKB.
Petaka ketidak pastian Partai Golkar bermula dari rasa ketersinggungan terhadap pernyataan pengurus DPP Partai Demokrat, Ahmad Mubarok. Ahmad Mubarok menyatakan bahwa perolehan suara golkar hanya 2,5 persen. Meskipun pada akhirnya Ahmad Mubarok “mati-matian” membantah maksud dari pernyatannya itu. SBY selaku ketua Dewan Pembina Partai Demokrat pun tak tinggal diam. SBY menegur kadernya tersebut.
Merasa dilecehkan, Partai Golkar pun memunculkan JK sebagai Capres sekaligus sebagai ikon partai berlambang pohon beringin tersebut. JK mendapat dukungan 28 dari 33 Dewan Pimpinan Daerah Tingkat I (DPD I) untuk diusung sebagai Capres. Saling “gertak” di media massa pun menjadi sengit antara Partai Golkar dan Partai Demokrat. Sebut saja klaim keberhasilan SBY dan JK menjadi iklan kampanye partai masing-masing. Bukan tanpa maksud. Iklan tersebut untuk meyakinkan kepada publik, bahwa salah satu dari mereka adalah yang paling baik. Antiklimas pertarungan Partai Golkar dan Partai Demokrat adalah adanya keinginan sebahagian kader partai Golkar untuk menduetkan kembali SBY-JK. Hal ini dilakukan karena menurut hasil perhitungan sementara, suara partai Golkar tidak signifikan untuk mengusung JK sebagai capres.
Meskipun pada akhirnya Partai Golkar harus mempertaruhkan wibawa partai di hadapan PDIP dan PPP yang menjadi sekutu koalisinya. Di tengah ketidak pastian tersebut, Partai Gokar semakin bimbang, hendak kemana koalisi akan di bawa? Sementara di internal partai Golkar sendiri tidak ada kebulatan tekad untuk mendorong JK sebagai cawapres. Apakah ini adalah pertanda posisi JK di partai Golkar sedang digoyang? Entahlah! Yang jelas, JK tidak lagi sebagai alternatif tunggal yang ingin ditawarkan kepada SBY.
Menimbang arah Koalisi Partai Golkar
Perolehan suara Partai Golkar yang tidak signifikan, membuat partai ini harus berpikir ulang untuk mencalonkan JK sebagai capres. Setidaknya itualah alasan realistis partai Golkar berganti haluan. Disamping itu, alasan lainnya adalah golkar tidak punya pengalaman oposisi terhadap struktur kekuasaan. Oleh karena itu, mau tidak mau partai Golkar lebih condong untuk meneruskan koalisi dengan partai Demokrat. Lalu skenario apa yang sedang dirancang oleh Partai Golkar untuk memuluskan koalisi dengan partai demokrat? Yang jelas, JK bukan lagi calon tunggal untuk disandingkan dengan SBY. Ketokohan Akbar Tanjung di Partai Golkar tidak bisa dipandang sebelah mata. Menguatnya gerbong Akbar, membuat partai ini terbelah dalam mengusung figur yang akan disodorkan kepada SBY. Hal ini mengharuskan Partai Golkar untuk berpikir lebih keras lagi. Setidaknya ada empat poin yang menjadi opsi dalam tubuh partai Golkar (Kompas, 17 April).
Pertama, melanjutkan duet SBY-JK. Opsi menduetkan kembali SBY-JK merupakan opsi yang menguat di tubuh partai golkar. Alasannya adalah JK punya pengalaman kerja sama dengan SBY. Antara SBY-JK telah terbangun chemistry yang kuat untuk menjalankan roda pemerintahan lima tahun ke depan. Jadi, SBY tidak perlu repot-repot lagi membangun kesepahaman dengan calon pendampingnya ke depan. JK juga diuntungkan secara geopolitik, karena merupakan representase dari luar jawa. Tapi segala sesuatu nya bisa saja berubah, mengingat kartu truf nya ada pada Partai Demokrat dan SBY. Jadi, apapun skenarionya, SBY lah bintangnnya.
Kedua, partai Golkar tetap pada pendirian awal, yakni mengusung JK sebagi capres. Opsi ini merupakan opsi yang tidak populis. Setidaknya itu adalah alasan besar bagi sebahagian besar pengurus DPP partai Golkar. Mengusung JK sebagai capres itu adalah bunuh diri, mengingat partai Golkar tidak terbiasa berada di luar kekuasaan. Maka pilihannya tentu pragmatis, yakni bergabung dengan Partai Demokrat. Walaupun pada awalnya seluruh DPD I bersuara bulat mengusung JK sebagai capres. Tapi kenyataannya berkata lain, suara partai Golkar pada pemilu legislatif melorot.
Ketiga, menolak duet SBY-JK tetapi mengusulkan tokoh golkar lain menjadi pendamping SBY. Opsi ini menguat jika saja SBY menolak berduet kembali dengan JK. Opsi ini memunculkan peluang bagi tokoh-tokoh Partai Golkar seperti Sultan Hamengkubuwono, Surya Paloh, Agung Laksono, Fadel Muhammad dan Akbar Tanjung. Sultan kemungkinan akan sulit diusung menjadi cawapres, karena ia ngotot maju sebagai capres. Sultan juga adalah tokoh golkar yang sering melawan arus. Secara geopolitik, SBY sangat riskan jika disandingkan dengan Sultan. Mengingat SBY juga berasal dari Jawa. Maka pilihan amannya adalah tokoh Golkar yang berasal dari luar Jawa. Hal ini menguntungkan tokoh Golkar yang berasal dari luar jawa, yaitu Fadel Muhammad, Surya paloh dan Akbar Tanjung.
Bila kita menimbang peluang Surya Paloh untuk diusung sebagai pasangan SBY, kemungkinannya sangat kecil. Mengingat Surya Paloh adalah sekutu JK pada Munas Golkar di Bali tahun 2004 lalu. Di samping itu juga, Surya paloh adalah ketua dewan penasehat Partai Golkar. Maka ia akan lebih rela jika JK diusung sebagai pasangannya SBY.
Jika kita menimbang Fadel Muhammad, kemungkinan peluang untuk diusung sebagai pasangan SBY sangat terbuka. Hanya saja Fadel belum bisa memegang suara mayoritas DPD I. tapi semua bisa terjadi jika DPD melihat prestasi Fadel membangun Gorontalo. Fadel juga tidak akan mungkin melawan JK yang punya andil dalam karir bisnisnya. Satu-satunya tokoh golkar yang paling berpeluang selain JK adalah Akbar Tanjung. Secara geopolitik ia layak bersanding dengan SBY. Akbar adalah tokoh yang mengakar di kalangan tokoh muda golkar. Akbar adalah tokoh golkar yang memasang badan ketika Golkar di gebuki pasca reformasi. Walaupun posisi golkar pada pemilu 1999 pada urutan kedua dengan perolehan suara lebih dari 40 persen. Pada pemilu 2004, Golkar kembali mengambil alih perolehan suara pemilu legislatif yakni berada pada urutan pertama. Dibandingkan dengan kepemimpinan JK, Golkar lebih berprestasi pada saat kepemimpinan Akbar.
Keempat, berkoalisi dengan PDIP, jika Demokrat menolak berkoalisi. Opsi ini menjadi opsi terakhir bagi golkar. Opsi ini bisa saja terjadi, mengingat golkar harus punya kanalisasi untuk merangkak ke pusaran kekuasaan. Pada opsi ini, posisi golkar di bawah bayang-bayang PDIP. Mau tidak mau, golkar mengikuti “permaianan” PDIP. Suasana ketidak pastian di tubuh akan diputuskan di rapimnas partai Golkar. Kemana arah koalisi. Apakah golkar akan memilih salah satu skenariao tesebut, hanya internal golkarlah yang mampu menjawabnya.
gambar dari : inilah.com
Oleh: Aryanto Abidin
Wakil Presiden BEM Unhas periode 2006-2007
Wakil Presiden BEM Unhas periode 2006-2007

Previous Article

Responses
0 Respones to "Partai Golkar di Persimpangan"
Post a Comment