MALU AKU MENATAP WAJAH SAUDARAKU PARA PETANI



Oleh Taufik Ismail
penyair, Juga: MAJOI (Malu Aku Jadi Orang Indonesia)
Tulisan ini dikirm oleh sobatku yang baik hati : Indah Syurga, Penulis. (Bima Membutuhkan penulis sepereti anti ukhti. Dengan menulis, dakawah pun berkibar. Btw, minta bukunya satu dong!, he...he...3x.)
Ketika menatap Indonesia di abad 21 ini
Tampaklah olehku ratusan ribu desa,
Jutaan hektar sawah, ladang, perkebunan,Peternakan, perikanan,
Di pedalaman, di pantai dan lautan,Terasa olehku denyut irigasi, pergantian cuaca,
Kemarau dan banjir datang dan pergi
Dan tanah airku yang
Digebrak krisis demi krisis, seperti tak habis habis,
Terpincang-pincang dan sempoyongan.
Berjuta wajahmu tampak olehku
Wahai saudaraku petani, dengan istri dan anakmu,
Garis-garis wajahmu di abad 21 ini Masih serupa dengan garis-garis wajahmu abad yanglalu,
Garis-garis penderitaan berkepanjangan,
Dan aku malu,Aku malu kepadamu.Aku malu kepadamu, wahai saudaraku petani di pedesaan.
Hidup kami di kota disubsidi oleh kalian petani.
Beras yang masuk ke perut kami
Harganya kalian subsidi
Sedangkan pakaian, rumah, dan pendidikan anak kalian
Tak pernah kami orang kota
Kepada kalian petani, ganti memberikan subsidi
Petani saudaraku
Aku terpaksa mengaku
Kalian selama ini kami jadikan objekBelum lagi jadi subjek
Berpulih-puluh tahun lamanya.
Aku malu.
Hasil cucuran keringat kalian berbulan-bulan
Bulir-bulir indah, kuning keemasan
Dipanen dengan hati-hati penuh kesayangan
Dikumpulkan dan ke dalam karung dimasukkan
Tetapi ketika sampai pada masalah penjualanKami orang kota
ang menentapkan harga
Aku malu mengatakanIni adalah suatu bentuk penindasan
Dan aku tertegun menyaksikan
Gabah yang kalian bakar itu
Bau asapnya
Merebak ke seantero bangsa
Demikian siklus pengulangan dan pengulanganHidup kami di kota disubsidi oleh kalian petani
Karbohidrat yang setia kalian sediakan
Harganya tak dapat kalian sendiri menentukan
Sedangkan kami orang perkotaan
Bila kami memproduksi sesuatu
Dan bila tentang harga, ada yang mencoba campur tangan
Kami orang kota akan berteriak habis-habisan
Dan mengacungkan tinju, setinggi awan
Kalian seperti bandul yang diayun-ayunkan
Antara swasembada dan tidak swasembada
Antara menghentikan impor beras dengan mengimpor beras
Swasembada tidak swasembada
Menghentikan impor beras mengimpor berasBandul yang bingung berayun-ayunBandul yang bingung diayun-ayunkan
Petani saudaraku
Aku terpaksa mengakuKalian selama ini kami jadikan objek
Belum jadi subjek
Berpuluh-puluh tahun lamanyaAku malu
Didalam setiap pemilihan umum dilangsungkan
Kepada kalian janji-janji diumpankan
Tapi sekaligus ke arah kepala kalian
Diacungkan pula tinju ancaman
Dulu oleh pemerintah, kini oleh partai politik
Dan kalian hadapi ini
Antara kesabaran dan kemuakan
Menonton dari kejauhanDPR yang turun, DPR yang naik
Presiden yang turun dan presiden yang naik
Nasib yang beringsut sangat lamban
Dan tak kudengar dari mulut kalian
Sepatah katapun diucapkanSaudaraku,
Ditengah krisis ini yang seperti tak habis-habis
Di tengah azab demi azab menimpa bangsa
Kami berdoa semoga yang selama ini jadi objek
Dapatlah kiranya berubah menjadi subjekJangka waktunya pastilah lama
Tapi semuanya kita pulangkan
Kepada Tuhan
Ya Tuhan
Tolonglah petani kami
Tolonglah bangsa kamiAmin.
Juli 2003
[Read More...]


Kalahnya Kepentingan Rakyat (Pertarungan antara Rakyat, Penguasa dan Kapitalisme)




Pupus sudah harapan rakyat kepada pemimpinnya. Betapa tidak, rapat paripurna DPR, yang membahas tentang kebijakan impor beras oleh pemerintah ternyata berakhir menyedihkan. Rakyat kita dihianati oleh wakilnya sendiri yang ada di gedung senayan sana. Pada awalnya mereka begitu bulat ingin mengusung hak angket terhadap eksekutif, di di persimpangan jalan mereka saling menikam, terpecah oleh suara interpelasi. Sebahagian dari mereka berkhianat. Bukan saja berkhianat kepada yang pro angket, akan tetapi mereka telah menghianati rakyat yang mereka wakili. Sungguh menyedihkan!. Dikala membahas kepentingan rakyat mereka terpecah, namun disaat membahas kenaikan gaji mereka mersepakat untuk membulatkan suara. Lalu pertanyaannya, wakil rakyat yang mana yang mereka wakili. Di saat-saat rakyat meregang nasib gara-gara naiknya BBM, mereka dengan seenak perut meminta tujangan yang jauh lebih besar dari dana BLT. "Sabar rakyatku!". aku juga rakyat. aku malu tidak bisa berbuat apa-apa untukmu. Mungkin suatu saat nanti, aku bisa menjadi martil bagi hati penguasa yang sombong.
Oh, wakil rakyatku, inikah janji-janjimu waktu kampanye?. Kenapa kau biarkan mereka meregang nyawa hanya untuk 100 ribu per bulam?. Wahai rakyatku sabarlah,. aku juga terkena imbasnya ketika kenaikan BBM dulu. Jatah nasi ku tambah mahal, celakanya lagi uang kiriman ku justru berkuran. ini pertanda keuangan ku mulai diboikot. Untung saja aku punya pekerjaan sambilan. nggak banyak sih. Tapi lumayan buat uang saku atau sekedar nambah-nambah beli buku dan majalah serta koran, agar tidak Tulalit dan buta informasi. Mungkin tuhan Mulai marah. Lihat, bencana yang beruntun dan terjadi dimana-mana. Mungkin ini azab dari Allah. Maafkan akau rakyat indonesia, aku belum bisa berbuat apa-apa untuk kalian. Padahal, akupun menikmati pajak dari kalian. Akhirnya kita hanya bisa mengurut dada sambil mendendangkan lagu sakit hati: "Oh, tanah airku mengapa masih menderita?". Akhirnya pertarungan ini dimenangkan oleh pemilik modal dan penguasa. Selamat menderita rakyatku. Sampai jumpa di lain waktu.
[Read More...]


alamat-alamat blog



This summary is not available. Please click here to view the post.
[Read More...]


IDEOLOGI, PERLUKAH DIPERTAHANKAN?



Oleh: Aryanto Abidin Staf Kebijakan Publik KAMMI Daerah Sulsel
bisa dikirimi e-mail lewat: aryanto@eramuslim.com atau al_akh_mbojo81@yqhoo.com


Ada yang menarik yang perlu kita cermati tentang kehidupan berbangsa dan bernegara kita, yaitu masalah ideologi. Ideologi merupakan landasan pokok dimana suatu negara atau dalam suatu bentuk kelembagaan meletakan harapan-harapan atau cita-cita yang disepakati bersama. Jadi, apa yang telah menjadi kesepakatan bersama, haruslah berjalan di atas roda ideologi, yang mana ideologi itu sendiri merupakan sesuatu yang telah dan harus disepakati secara bersama-sama pula. Ideologi pertama kali dikemukakan oleh D. Tracy, bahwa ideologi adalah sebuah pemahaman atau ide konseptual yang mampu melihat wajah dunia dengan ketertarikannya pada masalah-masalah sosial (Sosicial interest) dan mampu menawarkan “problem solving” atau pemecahan masalah dalam suatu lembaga kemasyarakatan.


Kalau kita definisikan secara harfiah, maka ideologi itu sendri terdiri dari dua suku kata yakni; Ideo yang berarti ide dan logos yang berarti ilmu. Merujuk pada pengertian secara harfiah tersebut, maka dengan subjektivitas saya, ideologi itu sendiri dapat diartikan ilmu tentang ide-ide. Definisi ini bukanlah definisi yang baku, akan tetapi tidak menutup kemungkinan beribu-ribu definisi yang bercokol dalam setiap kepala kita yang siap meramaikan lembaran putih ini. Kalau benar demikian adanya, maka ijinkanlah saya meminjam definisi ideologi menurut Jack C. Plano & Roy Olton1, bahwa ideologi merupakan sebuah kekuatan dinamis yang setara dengan kekuasaan karena kepaduan dan vitalitas yang diciptakan nya mampu untuk dikendalikan menghadapi negara atau kelompok lain. Merujuk pada definisi Jack C. Plano dan Roy Olton tersebut, maka jelaslah bahwa ideologi itu merupakan landasan-landasan yang memiliki kekuatan dalam membentuk karakter serta cara berpikir suatu masyarakat.


APAKAH IDEOLOGI HARUS TETAP DIPERTAHANKAN?
Adalah benar bahwa dalam suatu lembaga kemasyarakatan memerlukan ideologi. Sangat mustahil dalam suatu lembaga kemasyarakatan menolak adanya ideologi. Hal ini disebabkan Karena ideologi merupakan acuan pokok atau kerangka dasar dinamis yang menjadi energi kreatif dalam proses dinamisasi suatu lembaga. Lembaga swadaya masyarakat atau yang lebih dikenal dengan nama LSM merupakan salah satu contoh kecil lembaga yang ada dalam suatu masyarakat. Sebuah pemahaman/ide itu bisa dikatakan sebagai sebuah ideologi apabila mampu memuaskan batin, mampu memperbaiki hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan sang pencipta. Suatu ideologi dianggap berhasil apabila mampu menanamkan nilai pada obyek ideologi dalam hal ini masyarakat. Kadang-kadang idiologi juga dapat menjadi titik acuan dalam memandang suatu realitas atau kondisi yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat.


Kalau kita kembali pada pemahamannya Jack C. Plano dan Roy Olton bahwa sebuah ideology sangat peka terhadap sifat system politik, pelaksanaan menjalankan kekuasaan, peran individu, sifat sistem ekonomi dan sistem sosial, serta tujuan masyarakat. Sebagai sebuah system keyakinan yang mendasar, sebuah ideologi tidak hanya menggabungkan nilai-nilai dasar masyarakat tetapi ideologi itu sendiri menjadi nilai utama yang harus dipertahankan dan dalam kasus tertentu ideologi harus disebarluaskan kepada masyarakat lain.


Melalui tulisan ini saya ingin mengajak dari setiap pribadi kita untuk kembali menengok sejarah perkembangan ideologi, dalam hal ini ideologi kapitalis dan ideologi komunisme. Dimana kedua ideologi ini sebagai repsentatif atau mewakili topik yang sedang kita bahas. Kedua ideologi tersebut pernah mewarnai sejarah perpolitikan dunia pada akhir abad ke-19, bahkan masih merupakan topik perbincangan yang hangat dalam konteks sekarang. Peta perpolitikan internasionalpun sempat terpolarisasi menjadi dua blok yakni blok barat di bawah bendera kapitalisme (Amerika cs) dan blok timur di bawah bendera komunisme (Unisoviet cs). Ideologi komunis muncul sebagai lawan dari ideologi kapitalisme. Kapitalisme merupakan teori system ekonomi perdagangan bebas atau bisa dikatakan bahwa ideologi kapitalis ini selalu menekankan kepada kepemilikan modal, yang artinya hanya orang-orang yang memiliki modal yang besar yang menguasai factor-faktor produksi dan hal ini bersifat individual. Hal inilah yang merangsang lahirnya komunisme. Komunisme merupakan ideologi yang menghendaki penghapusan pranata kaum kapitalis serta berkeinginan membentuk masryarakat kolektif agar tanah dan modal (faktor produksi) dimiliki secara sosial dan pertentangan kelas serta sifat kekuatan menindas dari negara tidak berlangsung lagi. Dalam setiap upaya-upaya untuk menanamkan ideologinya itu, Paham komunis berusaha mengambil jalan pintas yakni dengan jalan revolusi dengan metode kekerasan. Hal inilah yang menyebabkan antipati masyarakat dunia terhadap paham ini. Kalau kita membuka lembaran sejarah berikutnya, Afganistan yang pernah berada di bawah jajahan Unisoviet mengalami tragedi kemanusiaan yang panjang akibat cara-cara kekerasan yang dilakukan Penganut paham komunis tersebut. Lalu bagaimana dengan Indonesia?. Di Indonesia paham komunisme mencoba merasuk dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Dalam rangka penanaman nilai komunis tersebut, paham ini telah dua kali mengalami kegagalan yakni sekitar pertengahan tahun 1950-an dan pada pertengahan tahun 1960-an. Jadi sekali lagi saya ingin menegaskan bahwa dalam suatu lembaga kemasyarakatan itu secara mutlak memerlukan ideologi. Merunut pada penjelasan sejarah yang dipaparkan di atas, Ideologi tidak selamanya harus dipertahankan. Ideologi dalam suatu lembaga kemasyarakatan bisa saja berubah selama ia tidak bisa memenuhi syarat-syarat penerimaan ideologi itu sendiri.
KESIMPULAN
Ideologi merupakan acuan pokok atau kerangka dasar dinamis yang menjadi energi kreatif dalam proses dinamisasi suatu lembaga. Ideologi juga merupakan seperangkat nilai yang diyakini kebenarannya oleh suatu bangsa dan digunakan sebagai dasar untuk menata masyarakat dalam bernegara. Ideologi mengandung nilai-nilai dasar yang hidup dalam sistem kehidupan masyarakat dan mengandung idealisme yang mampu mengakomodasikan tuntutan perkembangan zaman kedalam nilai-nilai dasar yang sudah dikristalisasikan dalam pancasila dan UUD 1945. Negara adalah lembaga kemsyarakatan dalam skala makro, untuk itu tentunya negara juga membutuhkan yang namanya ideologi. Negara merupakan patokan bagi setiap lembaga kemasyarakatan dalam lingkup mikro. Bila kita menengok kembali sejarah maka akan kita dapati bahwa ideologi-ideologi itu tidak selalu dipertahankan, karena mengingat syarat-syarat penerimaan ideologi itu sendiri. Yakni harus mampu memuaskan batin, mampu memperbaiki hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan sang pencipta. Ketika syarat itu belum terpenuhi maka sangat mustahil suatu ideologi itu bisa dipertahankan. (aryanto81)
[Read More...]


MEREKONSTRUKSI PARADIGMA GENDER (Upaya Meluruskan Pemahaman Tentang Gender)1



Oleh : Aryanto Abidin2

AWAL MULA GERAKAN FEMINISME
Membicarakan masalah gender merupakan topik yang sangat menarik untuk dibahas sekaligus untuk dicarikan solusinya. Berbicara tentang masalah gender berarti kita tidak pernah lepas dari masalah ketidak adilan sosial. Isu gender merupakan implikasi dari ketidakadilan sosial ditinjau dari aspek hubungan antara jenis kelamin. Isu gender sesungguhnya lahir dari kesadaran kritis kaum perempuan terhadap keterbelakangan kaumnya. Bila kita telusuri sejarah kelam kaum perempuan pada masa lampau khususnya eksistensi/keberadaan perempuan dimata agama-agama, misalnya saja agama yahudi yang menjauhi perempuan yang haid dan diasingkan ke suatu tempat yang khusus. Demikian juga dengan agama-agama lain seperti agama kristen dan hindu yang selalu menganggap rendah kaum perempuan3.

Bila kita memakai analisis gender yang diungkapkan oleh DR. Mansour Fakih maka perlakuan sebagian agama terhadap perempuan tersebut merupakan suatu bentuk kekerasan gender (gender violence). Akibat dari perlakuan sebahagian agama yang tidak adil dan cenderung melecehkan kaum perempuan tersebut sehingga lahirlah paradigma/anggapan yang cenderung meng-generilisasikan bahwa agama merupakan salah satu faktor yang turut andil dalam mengkokohkan ketidakadilan terhadap perempuan. Hal tersebut merupakan “trauma sejarah” bagi kaum perempuan ataupun pemerhati gender. Sehingga orang ramai- ramai mencampakan agama. Padahal kalau kita amati dari kacamata islam, maka sesungguhnya kaum perempuan justru terbebaskan dari belenggu jahiliyah setelah datangnya islam yang di bawa nabi Muhammad SAW. Jadi generilisasi atau penyamarataan semua agama terhadap penerimaan atau perlakuan agama terhadap perempuan yang cenderung diskriminatif adalah tidak benar. Justru islamlah yang pertama kali turut andil membebaskan perempuan dari belenggu jahiliah. Hanya saja persepsi atau pemahaman orang tentang islam yang belum tuntas dan cenderung memahaminya secara parsial atau sebahagian-sebahagian. Isu gender kemudian mulai santer dibicarakan pada awal abad ke-20. Hal ini merupakan akumulasi kekerasan atau ketidak adilan terhadap keberadaan perempuan baik di dalam rumah tangganya, tempat kerjanya, lingkungan sosialnya maupun di tingkat pemerintahan yang terjadi pada masyarakat Eropa pada waktu itu. Isu gender bukan lagi permasalahan yang temporal atau sifatnya sementara akan tetapi sudah menjadi isu yang sifatnya kontemporer atau berlaku sepanjang massa bahkan cenderung mengarah kepada gejala sosial baru yang harus disikapi secara arif dan bijaksana.

Menurut DR. Mansour Fakih, seperti halnya analisis dan teori kelas yang dicetuskan oleh Karl Marx, dapat membantu analisis sosial saat ini untuk memahami bentuk ketidak adilan ekonomi dan kaitannya dengan sistem sosial yang lebih luas. Demikian juga Antonio Gramsci dan Louis Althusser membahas ideologi dan kultural serta menggugat keduanya karena dianggap sebagai alat dan bagian dari mereka yang diuntungkan untuk melanggengkan ketidak adilan. Seperti halnya teori kritik yang diungkapkan oleh kedua tokoh tersebut maka harus ada suatu teori atau analisis baru yang yang mempertanyakan ketidakadilan sosial dari aspek hubungan antar jenis kelamin yang belum pernah disinggung oleh teori-teori di atas. Analisis yang dimaksud adalah analisis gender, suatu analisis yang menjadi alat bagi gerakan feminisme.

Konsep penting yang perlu dipahami dalam rangka membahas masalah kaum perempuan adalah membedakan konsep seks (jenis kelamin) dan konsep gender. Pemahaman dan pembedaan terhadap kedua konsep tersebut sangat diperlukan karena alasan sebagai berikut. Pemahaman dan pembedaan antara konsep seks dan gender sangatlah diperlukan dalam melakukan analisisi untuk memahami persoalan-persoalan ketidak adilan yang menimpa kaum perempuan. Hal ini disebabkan karena ada kaitan yang erat antara perbedaan gender (gender differens) dengan dan ketidakadilan gender (gender inequalities) dengan struktur ketidak adilan masyarakat secara lebih luas. Dengan demikian pemahaman dan pembedaan yang jelas antara konsep seks dan gender sangatlah diperlukan dalam membahs ketidakadilan sosial. Maka sessungguhnya terjadi keterkaitan antara persoalan gender dengan persoalan ketidakadilan sosial lainnya..

REKONSTRUKSI PEMAHAMAN GENDER
Sampai saat ini pengertian tentang konsep gender masih sangat kabur. Orang-orang pada umumnya cenderung meberi definisi gender sebagai jenis kelamin (Sex) bahkan apabila kita membuka kamus gender tidak secara jelas membedakan antara pengertian kata sex dan gender. Baiklah mari kita memberikan definisi konsep gender menurut DR. Mansour Fakih yakni semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari tempat ke tempat yang lainnya, maupun berbeda dari suatu kelas ke kelas yang lain. Jadi bisa disimpulkan bahwa gender (seperti: sifat lemah lembut, emosional, irasional) bukan merupakan hal yang sifatnya kodrati akan tetapi merupakan hasil konstruksi sosial. Dengan demikian menurut analisa DR Mansour Fakih laki-laki juga bisa bersifat seperti sifat yang layak dimiliki oleh perempuan.

Dalam menjernihkan perbedaan perbedaan antara sek dan gender yang menjadi masalah adalah, terjadi kerancuan dan pemutarbalikan makna tentang apa yang disebut seks dan gender. Dewasa ini terjadi peneguhan pemahaman yang tidak pada tempatnya di masyarakat, dimana apa yang sesungguhnya gender, karena pada dasarnya merupakan konstruksi sosial justru dianggap sebagai kodrat atau menjadi ketentuan Tuhan.

Buku ini mencoba merekonstruksi kembali kesalahan berpikir kita yang selalu mengkultuskan atau memposisiskan gender (seperti: sifat lemah lembut, emosional, irasional) sebagai kodrat atau ketentuan Tuhan padahal sebenarnya tidak demikian. Buku ini mencoba menyajikan secara sederhana apa sebenarnya analisis gender. Analisis dan teori gender, sebagaimana layaknya analisis teori kelas,analisis kultural, adalah alat analisis untuk memahami realitas sosial. Sebagai teori, tugas utama analisis gender adalah memberi makna, konsepsi,asumsi, ideologi dan praktek hubungan baru antara kaum laki-laki dan perempuan serta implikasinya terhadap kehidupan sosial yang lebih luas (Sosial, ekonomi, politik, budaya) yang tidak dilihat oleh teori ataupun analisis sosial lainnya.. Dengan kata lain analisis gender merupakan kacamata baru untuk menambah, melengkapi analisis sosial yang telah ada, dan bukan menggantikannya. Diasamping itu juga buku ini mebahas secara sederhana dan gamlang hubungan antara anlisis gender dan tafsir agama.
Dari kacamata islam buku ini tidak secara konsisten mebahas gender menurut alqur’an dan sunnah dan justru kadang-kadang mengkaburkan makna dan nilai-nilai yang terkandung dalam dua pegangan umat islam tersebut, menurut pemahaman yang dangkal. Akan tetapi Buku ini cukup memberikan sumbangsih yang besar bagi munculnya teori analisis sosial baru, yakni sebuah teori yang membahas tentang ketidak adilan sosial yang ditinjau dari sudut pandang hubungan antar jenis kelamin. Lebih dari itu, Buku Analisis Gender yang ditulis Oleh Mansour Fakih merupakan lampu penerang bagi kesalah pahaman tentang makna gender sebenarnya.

1. Tulisan ini merupakan sebuah resensi dari buku Analisis gender dan
Transformasi Sosial yang ditulis oleh Mansour Fakih
yang diresensi oleh peresensi tiga tahun lalu.
2. Peresensi adalah Staf Kebijkan Publik KAMMI Daerah Sulsel
bisa dikirimi e-mail lewat: aryanto@eramuslim.com atau al_akh_mbojo81@yahoo.com.
Penulis beralamat di http://www.aryantoabidin.blogspot.com/. Mampirlah sejenak, sambil minum
kopi pahit dan berdiskusi tentang indonesia dan manusia Indonesia.
3. Baca Ensikolopedia Wanita Muslimah
[Read More...]


Pandangan: ilahiah Vs kapitalisme dan neo kapitalisme



Oleh : Aryanto Abidin

Judul Buku : Mencari Tuhan
Pengarang : Prof. Muchsin Qirati
Tebal buku : xii + 208 halaman
Tahun Terbit: November 2001

Persoalan terpenting dalam ikhwal keberagamaan kita adalah tentang apa atau siapa sebenarnya Tuhan itu. Dalam kacamata agama apapun (tentunya terlepas dari penamaannya secara harfiah), Tuhan merupakan konsep dasar yang tak bisa di tawar-tawar lagi. Tanpa konsep ketuhanan dengan sendirinya agama akan kehilangan legitimasi superior dan transendennya. Agama menjadi tak ubahnya sekumpulan norma-norma sosial belaka, tanpa orientasi spiritual apapun. Dengan begitu pengenalan terhadap Tuhan secara “masuk akal” menjadi kemestian yang tak bisa di tolak. Berbicara tentang pengenalan Tuhan secara `masuk akal` mungkin banyak sekali pertanyaan-pertanyaan nakal yang ada dalam kepala kita tentang Tuhan itu sendiri, yaitu apa, siapa serta dimana. Sebelum anda melanjutkan membaca tulisan ini mungkin anda akan sedikit bingung.Tapi tidak apa-apalah!, kebingungan anda tersebut cukup wajar karena kebingungan anda adalah awal dari sebuah titik terang yang anda inginkan dan semoga kebingungan anda terrsebut akan terjawab setelah anda melanjutkan untuk membaca tulisan ini.

Dalam Ajaran islam, umat islam tidak saja dituntut untuk mengajarkan masalah-masalah ritual dan kebaikan moral belaka tetapi juga dituntut untuk memahami segala sesuatu secara rasional . Bahkan di dalam ayat-ayat al-Qur`an sendiri acapkali kita menjumpai ayat-ayat yang menyeru kepada kita untuk membaca tanda-tanda kekuasaannya dengan cara memanfaatkan potensi akal yang telah dianugrahkan oleh tuhan kepada kita dengan melalui proses berpikir.

Menurut Prof. Muchsin Qirati dalam bukunya tersebut bahwa keharusan semacam ini tanpa terkecuali, termasuk terhadap eksistensi atau keberadaan agama itu sendiri. Dengan kata lain suatu agama belum tentu bisa dibenarkan sepenuhnya sekalipun menawarkan ajaran-ajaran moral-etis yang sangat menyentuh serta menggairahkan tanpa memiliki pembenaran yang logis tentang keberadaannya. Kita seringkali terpesona lalu kemudian terpengaruh ketika suatu agama (islam atau bukan) hanya lantaran karena seruan moralnya yang mengharu biru,atau boleh jadi karena latar belakang historisnya yang mengagumkan. Padahal boleh jadi dibalik semua itu tersimpan kekeliruan yang sudah sedemiakian busuk ihwal keabsahannya secara logis. Dengan kata lain bahwa ihwal dibalik semua itu adalah terdapat upaya-upaya untuk merasionalkan keberadaannya atau menyelubungi irasionalitas tentang keberadaannya.

Yang menarik dalam bukunya tersebut Prof. Muchsin Qirati menyuguhkan beberapa pandangan yakni pandangan ilahiah,.kapitalisme dan Neo-kapitalisme lalu kemudian beliau memepertentangkan-nya. Barangkali kita acap kali mendengar adanya pandangan dunia (word view). Pandangan dunia ini merupakan tafsiran universal terhadap keberadaan jagat alam (macrocosmos). Pandangan dunia ini terbagi menjadi dua, yang pertama yaitu pandangan dunia ilahiah yang mengatakan bahwa dibalik penciptaan alam semesta ini memiliki tujuan yang bersandar pada wujud yang memiliki perasaan dan berdasarkan pada sebuah rancangan, sistem, serta perhitungan yang pasti. Kedua,yaitu Pandangan dunia kapitalisme, yang mana pandangan ini ending-nya akan selalu berpijak pada materialisme. Pandangan ini mengatakan bahwa penciptaan alam beserta isinya ini tidak memiliki tujuan, tanpa perhitungan dan tanpa rancangan. Tak diragukan lagi pembahasan kedua bentuk pandangan tersebut pasti memiliki manfaaat serta keuntungan yang khas.

Prof. Muckhsin Qirati dengan lugas dan tegas menjelaskan dalam bukunya tersebut bahwa dibalik pencipataan alam semesta ini memiliki tujuan yang bersandar pada wujud yang memiliki perasaan, dan berdasarakan pada sebuah rancangan, sistem serta perhitungan yang pasti. Yang menarik dari buku ini adalah Prof. Mukchsin Qirati mencoba memberikan analogi-analogi yang sangat menarik dan masuk akal tentang kedua pandangan tersebut. Sehingga dengan analogi tersebut sekaligus membuktikan betapa lemahnya pandangan materialisme tersebut. Dalam buku Mencari Tuhan tersebut pengarangnya berusaha mengajak pembaca untuk berdialetika dengan pemikiran-pemikiran tersebut. Selain itu juga, yang menarik dari buku ini adalah pengarang buku ini mengemukakan beberapa kelemahan dari pandangan marxisme yaitu dengan cara memberikan argumen serta analogi yang masuk akal dalam hal pengingkaran mereka tentang adanya Tuhan. Buku ini juga memuat tentang bantahan-bantahan yang berkenaan dengan pendapat dari Karl Marx yang mengatakan bahwa ‘Agama adalah Candu’ tentu saja dengan menggunakan analogi yang real dalam hal ini kaitannya dengan revolusi Iran. Menurut Marx bahwa kerusakan moral disebabkan oleh kerusakan tatanan ekonomi, benarkah demikian?. Hal ini akan dibahas tuntas dalam buku ini. Menurut mukhsin Qiraty, Karl Maax terlalu prematur untuk memandang agama sebagai Candu, Karna dalam hal ini Mark berada dalam kondisi atau berada pada zaman yang tidak tepat,dimana agama (Nasrani) pada waktu itu merupakan phobia bagi masyarakat Eropa. Hal ini disebabkan karena keterlibatan agama yang melampaui batas terhadap sistem pemerintahan yang ada pada waktu itu. Bahkan ruang-ruang untuk berbeda hampir tidak ada tempatnya waktu itu.

Pada akhir pecarian Tuhannya, Prof. Mukchsin Qirati mengungkapkan bahwa proses pengenalan Tuhan secara masuk akal adalah suatu keharusan guna lebih mendekatkan diri atau menambah kecintaan kita terhadap sang pencipta yakni dengan memahami ayat-ayat kauniah dan ayat kauliahnya. Ayat kauniah yang dimaksud adalah alam beserta isinya sedangkan ayat kauliahnya adalah Alqur’an. Untuk mengenal tuhan secara masuk akal maka digunakanlah potensi akal untuk memahami dan merenungi kedua ayat tersebut.

Sebagaimana halnya buku-buku lain buku Mencari Tuhan ini juga memiliki beberapa kelebihan yakni mampu memberikan argumentasi dan analogi yang masuk akal terhadap beberapa pernyataan yang menyudutkan islam serta memeberikan renungan-renungan spiritual terhadap jiwa yang kosong. Namun untuk memahami isi buku ini memerlukan kesabaran untuk mengekspolrernya, serta dapat memberikan asumsi yang berbeda bagi pembaca pada khususnya atau umat islam pada umumnya ketika membaca secara sepintas judul buku ini.
[Read More...]


Lagi menatap sesuatu nih, di Belakang gedung Pusat kegiatan Penelitian (PKP) Unhas



[Read More...]


KAMMI dan Tradisi Intelektual (yang ) Malu-Malu



Oleh: Aryanto Abidin
Staf Kebijakan Publik KAMMI Daerah Sulsel
bisa dikirimi e-mail lewat:
aryanto@eramuslim.com.atau al_akh_mbojo81@yahoo.com
Seorang teman pernah bertanya pada saya, Apa yang bisa dibanggakan dari KAMMI?. Kontan saja otak saya buru-buru mencari jawaban. Saya jadi tidak percaya diri (PD) dibuatnya. Lalu saya mengingat dan membuka kembali input data tentang KAMMI yang ter-save dalam memori otak saya. Lama nian jawaban itu baru muncul. Akhirnya saya teringat slogan KAMMI; Aksi Kuat, Ibadah Taat, Prestasi hebat. Bagi saya ini bukan sekedar slogan biasa, bukan pula untuk gagah-gagahan, tidak juga untuk menyombongkan diri. Bagi saya ini adalah beban moral dan harus saya pertanggung jawabkan (bahkan) pada Allah. Membaca dua kata pertama slogan tersebut (aksi kuat), lantas saya mencoba menginterpertasi makna dua kata tersebut. Aksi kuat, hemat saya kata aksi bukan saja hanya sebatas aksi dijalanan saja atau bahasa kerennya adalah demo-penggalan kata demonstrasi agar lebih singkat dalam penyebutannya- tetapai maknanya harus lebih luas lagi dan diejahwantahkan dalam ranah kemahasiswaan yakni aksi intelektual.
Semula, tidak pernah terpikirkan oleh saya untuk duduk dalam posisi structural untuk mengurus KAMMI. Sebelum saya duduk di posisi struktural KAMMI, saya hanya mengamati dari luar atau menjadi pengamat terhadap perkembangan KAMMI dari kejauhan. Bahkan jauh sebelum saya duduk di posisi kepengurusan, salah seorang aktivis KAMMI pernah bertanya kepada saya, apa yang kurang dari KAMMI?. Sebagai orang yang mengamati KAMMI dari luar struktur, saya pun meladeni pertanyaannya. Permasalahan KAMMI sekarang adalah tidak terbangunnya tradisi intelektual dalam tubuh KAMMI, budaya diskusi sebagai bagian dari tradisi intelektual kurang mendapat tempat dalam pikiran kita. Kita terlanjur terninabobokan oleh romantisme sejarah tentang dongeng heroik para pendahulu KAMMI. Saya tidak bermaksud ingin berseberangan dengan Soekarno; jangan sekali-kali melupakan sejarah (Jasmerah). Sekali lagi, tidak bermaksud ingin menutup lembar sejarah KAMMI dalam ingatan kolektif kita. Akan tetapi romantisme sejarah yang berlebihan justru akan menyuntik mati kemerdekaan berpikir dan berkreasi kita, lalu mati secara mengenaskan.
Lalu pertanyaannya, apa yang kita pelajari dari sejarah pembentukan KAMMI?. Sederhana sebenarnya. Jawaban itu sudah ada dalam kepala kita masing-masing. Sebenarnya saya enggan untuk memaksakan pikiran saya kepada anda. Tapi tak apalah!, mungkin ini cuma sebagai acuan saja. Mari kita melihat bagaimana awalnya mereka mempersiapkan diri untuk menyambut perubahan itu. Para penggagas KAMMI pada waktu itu melakukan gerilya intelektual lewat masjid. Mereka jauh-jauh hari mempersiapkan hal tersebut. Persiapan ruhiyah yang dibarengi dengan kekuatan intelektual yang mantap, itulah yang dipersiapkan oleh pengagas KAMMI. Sehingga ketika gendering perubahan mulai ditabuh melalui momentum reformasi 1998, mereka tidak gagap menyambutnya. KAMMI Sul-Sel? Atau bahkan KAMMI Pusat, masih punyakah sense of crisis terhadap kondisi kekinian KAMMI?. Jawabannya ada pada kita. Apakah kita yang akan meng-eutanasia KAMMI?, sehingga hilang dari peredaran dan tidak dibutuhkan lagi. Atau yang terjadi adalah sebaliknya, kita yang hilang dari peredaran lantaran (dianggap) tidak becus mengurus KAMMI. Semoga saja ini tidak pernah terjadi. Kalaupun terjadi, itu adalah kecelakaan sejarah yang patut kita tangisi.
Sejarah telah membuktikan betapa tradisi intelektual telah menjadi bahagian terpenting dari perjuangan pendiri bangsa ini. Soekarno misalnya, membangun bangsa ini dari kelompok diskusi sehingga dari diskusi itu menumpahkan ide-ide kreatif dan membawa semangat pencerahan yang menjadi referensi perjuangan anak muda pada jamannya. Bahkan saking radikalnya anak muda yang bernama Soekarno ini, pernah berkata; dari kamar inilah nasib bangsa ini di tentukan. Aristoteles pun. Membangun alam akademosnya dari kelompok diskusi kecil yang terdiri dari beberapa orang tanpa terkungkung oleh batas waktu dan tempat.
Pernah suatu waktu dalam rapat rutin salah seorang teman yang juga pengurus KAMMI pernah mengeluh tentang minat kader KAMMI terhadap budaya diskusi. Padahal ia sudah setengah mati mengakomodasi kader KAMMI untuk membangun tradisi intelektual melalui kegiatan-kegiatan diskusi. Namun sayang sungguh sayang kegiatan seperti ini kurang mendapat respon dari kader-kader KAMMI bahkan pengurusnya pun nyaris hilang dari kegiatan tersebut. Ada apa dengan kader KAMMI?. Menurut saya, any something wrong, ada yang salah dengan KAMMI. Kalau sudah begini, lantas siapa yang disalahkan?. Setelah itu kita sibuk mencari pembenaran atas ketidakbecusan kita. Maka tidak heran kalau kualitas kader KAMMI di bawah rata-rata. Bisa kita hitung jari, berapa sih jumlah kader KAMMI yang murni lahir dari rahim KAMMI yang menjadi tokoh kampus?. Jawabannya boleh dibilang nihil. Ini harus diakui, secara kualitas kita memang kalah dengan teman-teman dari elemen gerakan lain. Tapi kalau secara kuantitas (di atas kertas), saya angkat topi untuk itu. Jangan-jangan inilah wajah KAMMI yang sesungguhnya.
Kawan!, genderang perubahan telah terlanjur kita lakoni. Reformasi 1998 telah menjadi momentum awal perjuangan KAMMI. Dan KAMMI mengambil peran yang sangat besar dan signifikan di dalamnya. Dimana di saat elemen gerakan lainnya sedang mati rasa lantaran terlalu bermesraan dengan rezim orde baru, dimana semua orang memaki siapa saja yang berbau orde baru. Makanya KAMMI layak bertanggung jawab untuk perubahan itu, serta tetap terus mengawal perubahan itu. Maka tidak ada jalan lain lagi bagi KAMMI kecuali terus mengawal perubahan itu dan tetap konsisten mengawal amanah reformasi. KAMMI mau tidak mau, suka tidak suka harus mempersiapkan diri untuk mengembang amanah besar iru.
Kawan!, apakah kita rela negeri ini dikelola oleh orang-orang yang tidak bermoral? Orang-orang yang tidak bertanggung jawab yang setiap hari merampok kekayaan negeri ini. Bayangkanlah!, sepuluh atau dua puluh tahun ke depan kitalah yang akan menjadi pemegang estafet kepemimpinan bangsa ini. Oleh karenanya, untuk mengelola bangsa ini tidak cukup hanya bermodalkan kesalehan saja akan tetapi harus memiliki kapabilitas intelektual yang mapan. Oleh karenanya kita harus mulai dari sekarang. Kata orang bijak; siapa yang menanam hari ini, maka ia akan menikmatinya besok.

Membangun taradisi intelektual adalah suatu keniscayaan. KAMMI hanyalah elemen kecil tempat kita berinteraksi dan beraktualisasi. KAMMI tidak akan pernah besar tanpa dibarengi dengan kekuatan intelektual para kadernya, atau setidaknya mampu melahirkan tokoh-tokoh kampus. Oleh karenanya pra syarat untuk itu adalah hidupnya tradisi intelektual dalam tubuh KAMMI. Kengganan kita untuk memulai diskusi adalah pertanda kemandulan intelektual kita. Memulai diskusi tidak harus formal ada yang jadi pemateri, ada pengeras suara, peserta yang berjubel jumlahnya, harus dalam ruangan, ada tanya jawab tanpa ada pernyataan. Bagi saya, ini adalah tradisi intelektual (yang) malu-malu. Satu sisi kita ingin membangun sebuah rumah intelektual tapi masih setengah hati dan malu-malu serta selalu merasa tidak mampu. Hilangkan segera. Sebab kalau tidak, kita secara tidak langsung telah menge-utanasia KAMMI, lalu mati secara mengenaskan. Tragis!. Saya berharap ini tidak akan terjadi. Semoga.
[Read More...]


Ospek dan Represifitas Birokrat (Tinjauan Kritis atas Pelarangan Ospek)



Rabu, 21-09-2005 14:42:51 PM
Beberapa hari terakhir ini energi dan pikiran kita selalu tertuju pada perdebatan seputar Orientasi studi dan pengenalan kampus atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ospek. Seperti biasa, setiap awal tahun ajaran baru di tingkat perguruan tinggi, kegiatan yang paling menonjol adalah Ospek. Perdebatan yang paling populer di tingkat mahasiswa adalah pada tataran ada atau tidak adanya ospek. Di kampus Unhas, khusus di wilayah Agro kompleks (Fapertahut, Fakultas Peternakan, dan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan) keputusan penghapusan Ospek telah menjadi kenyataan.

Hal ini ditandai dengan adanya surat pengumuman pelarangan Ospek dalam bentuk apapun oleh dekan se-Agro kompleks. Keputusan ini ada yang menyambut gembira namun tidak sedikit pula yang menolaknya, terutama lembaga-lembaga kemahasiswaan. Bagi lembaga kemahasiswaan selain sebagai sarana memperkenalkan maba pada kondisi kampus, Ospek merupakan sebuah proyek pengkaderan di tingkat kelembagaan yang perlu mendapat perhatian yang sangat serius. Namun tidak bagi sebahagian yang lain terutama bagi orang tua maba atau birokrasi di wilayah Agro kompleks. Pertanyaan yang mendasar bagi kita adalah, kenapa lembaga kemahasiswaan menolak penghapusan Ospek? Untuk itu penulis mengajak kita semua untuk mengarifi Ospek. Sebab bukan tidak mungkin penghapusan Ospek di wilayah agro kompleks sarat dengan muatan politik atau tendesi lainnya, terlepas dari noda hitam yang terlanjur melekat padanya. Namun demikian, haruskah Ospek dihapus?.
KEBIJAKAN pOPULIS ATAUKAH CARI MUKA?
Bagi Lembaga kemahasiswaan, surat pengumuman yang ditanda tangani bersama oleh Dekan se-agro kompleks yang melarang segala bentuk model penyambutan mahasiswa baru di wilayah tersebut, merupakan kebijakan yang sepihak. Surat edaran tersebut disertai dengan ancaman pelaporan ke pihak kepolisian karena jika dianggap melakukan tindakan kekerasan. Dari surat pengumuman itu, sangat jelas sekali betapa ketakutan yang berlebihan (paranoid) itu menjangkiti para pengambil kebijakan di tingkat fakultas di wilayah agro kompleks. Indikasi ketakutan itu ditandai dengan tidak adanya pra kondisi atau dialog (komunikasi) yang terbangun antara mahasiswa yang dalam hal ini yang diwakili oleh lembaga kemahasiswaan dengan pengambil kebijakan di tingkat fakultas sehingga keputusan yang lahir adalah keputusan sepihak. Lantas adakah kebijakan ini adalah kebijakan populis ataukah sekadar cari muka? Ataukah ketika ospek berhasil dihapuskan di wilayah Agro kompleks adalah sebuah prestasi? Boleh jadi kebijakan ini hanya sekedar cari muka atau sarat dengan nuansa politis. Jika kita telaah lebih jauh, kebijakan pelarangan Ospek yang merupakan buah koalisi ‘busuk’ antara dekan se-Agro adalah untuk unjuk kekuatan (show of power). Hal ini seolah-olah menunjukan betapa bersatunya Agro kompleks dalam rangka menyambut pemilihan rektor mendatang. Karena sudah hampir dipastikan, jagoan yang akan masuk bursa calon rektor ke depannya adalah salah satunya dari wikayah agro kompleks yang memang sudah familiar di lingkungan rektorat. Sehingga Dekan se-Agro kompleks sekarang ini masing-masing memiliki peluang untuk melenggang mulus ke lantai delapan (gedung rektorat unhas) untuk menduduki salah satu kursi panas. Maka tidak heran, segala macam intrik dilakukan untuk mencapai kekuasaan, termasuk menghapus Ospek. Mengarifi Ospek Sebenarnya perdebatan ada dan tidak adanya ospek telah menjadi perdebatan yang renta di kalangan mahasiswa, baik yang mendukung ospek (pro status quo) maupun yang menolak ospek (anti status quo). Dalam tulisan ini penulis ingin mengajak berpikir arif dan rasional tentang ospek, dengan mengambil analogi yang diungkapkan oleh Ishak Ngeljaratan dalam sebuah harian lokal. Dalam analoginya itu ia mengatakan bahwa Ospek ibarat sebuah pisau dapur yang dapat digunakan untuk memotong sayur atau untuk mengiris bawang. Pisau dapur juga dapat digunakan untuk melukai orang lain atau bahkan untuk membinasakan seseorang. Jika digunakan sengaja untuk membunuh manusia, maka pembunuhnya yang disalahkan dan dihukum. Pisau dapur yang dipakai untuk membunuh tak punya kesalahan apapun karena hanya dipakai sebagai alat dan tak punya kebebasan seperti pembunuh. Pisau dapur itu tak harus dibuang karena dapat dipakai lagi sebagai pisau dapur atau disimpan sebagai alat bukti pembunuhan. Demikian juga dengan ospek. Ospek hanyalah alat yang dipakai oleh mahasiswa dalam rangka orientasi pengenalan kampus baik yang menyangkut studi ataupun dinamika kehidupan kampus. Berarti ospek berada pada posisi yang bebas nilai, tidak melekat padanya benar atau salah. Kekerasan yang muncul dalam Ospek bukanlah kesalahan alat yang bernama Ospek, tapi merupakan kesalahan si pengguna alat atau komponen yang terlibat di dalamnya. Termasuk di dalamnya adalah mahasiswa dan juga pengambil kebijakan di dalamnya -termasuk dekan dan pembantu dekan- harus bertanggung jawab atas kekerasan yang terjadi dalam pelaksanaan ospek. Oleh karenanya perlu kiranya dibentuk sistem pemantau pelaksana Ospek baik dari kalangan mahasiswa maupun dosen yang betul-betul konsisten mengawal ospek sehingga di dalam pelaksanaannya tidak terjadi tindak kekerasan. Jika ospek disalahgunakan dari tujuan semestinya yakni orientasi pengenalan kampus maka bukan Ospek yang harus dibubarkan akan tetapi oknum yang menyalahkan fungsi ospek itulah yang harus bertanggung jawab termasuk orang-orang yang diberi amanat untuk mengawal kegiatan tersebut. Ospek harus dikembalikan pada esensi dan fungsi yang sebenarnya yakni orientasi dan pengenalan kampus. Oleh karenanya sangat tidak rasional dan terlalu kekanak-kanakan jika ospek yang harus dihapus lantaran ada unsur kekerasan di dalamnya akan tetapi pelaksana dilapanganlah yang harus dikenakan sanksi. Kebijakan Pelarangan Ospek adalah Buah Represivitas Birokrat Harus diakui bahwa kebijakan pelarangan ospek yang dikeluarkan oleh koalisi dekan se-Agro kompleks adalah wujud tindakan represif oleh birokrat terhadap mahasiswa. Betapa tidak, kebijakan tersebut tanpa diawali dengan pra kondisi atau dialog yang terbangun dengan lembaga kemahasiswaan sebagai wakil dari mahasiswa se-Agro kompleks. Hal ini sekaligus menunjukan tidak adanya itikad baik dan rasa penghargaan sedikitpun terhadap lembaga kemahasiswaan untuk menghasilkan kebijakan yang win-win solution. Kalau sudah seperti ini kebijakan yang diambil oleh koalisi dekan se-Agro kompleks, maka jelaslah lembaga kemahasiswaan sudah tidak lagi dianggap sebagai bagian dari civitas akademik yang perlu diajak berdialog. Hal ini sangat berbeda dengan fakultas lain yang menganggap lembaga kemahasiswaan sebagai partner dalam menghidupkan dinamisasi di kampus. Sehingga dari sinilah kedewasaan dalam berlembaga terus berjalan. Ada sesuatu yang bisa ditanamkan dari kegiatan ospek ini yakni proses pembelajaran. Sepanjang pengetahuan penulis, bahwa di kampus Unhas penerapan pelarangan ospek pertama kali pada tahun ini, itupun hanya di terapkan di wilayah Agro kompleks, yang boleh dibilang tingkat kekerasan pada saat Ospek lumayan rendah bila dibandingkan dengan beberapa fakultas lainnya. Sekali lagi penulis tidak ingin menjustifikasi pemberlakuan kekerasan dalam Ospek. Yang jelas, kekerasan adalah musuh kita bersama apakah itu dalam penerapannya sedikit atau banyak. Lagi-lagi kebijakan yang dihasilkan oleh koalisi dekan se-Agro kompleks menunjukan kebijakan yang kekanak-kanakan. Di saat fakultas lain memberikan ruang pendewasaan berlembaga bagi mahasiswanya, justru yang terjadi di Agro kompleks adalah sebaliknya yakni tindakan represif pihak birokrat melalui pelarangan Ospek. Ini mengindikasikan matinya demokrasi di kampus unhas. Kultur akademik yang terbuka dan transparan serta kultur dialogis ternyata tidak menjadi ruh dalam setiap pengambilan kebijakan di kampus Unhas. Untuk itu penulis mengajak kita semua untuk mengarifi ospek, jangan memandang ospek secara parsial atau satu sisi saja. Jika ospek dilaksanakan sebagaimana fungsinya, maka kekerasan itu tidak akan pernah muncul di tanah tanpa penindasan (kampus). Dan kalaupun kekerasan terlanjur terjadi maka semua pihak harus bertanggung jawab termasuk Dekan dan pembantu dekan. Kita semua sepakat bahwa kekerasan adalah musuh kita bersama, untuk itu mari kita cari solusi yang win-win solution agar tidak ada yang merasa ditindas dan tidak dihargai. Penulis berharap penghapusan ospek di beberapa kampus lain bukan karena buah represivitas birokrat akan tetapi hasil kesadaran kolektif akan wujud kekerasan. Oleh karena itu mengarifi ospek perlu kelapangan dada dan kebesaran jiwa untuk menerimanya. Karena mengarifi ospek berada antara cinta dan benci. Wallahualam bishowaab. Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Perikanan Unhas, anggota Badan Legislatif Mahasiswa (BLM)Fak Perikanan, mantan Staf redaksi Catatan Kaki (CAKA) Unhas
[Read More...]


Antara Koboi, Pemerintah dan Wakil Rakyat Kita (Koreksi Total untuk Manusia Indonesia Seutuhnya)



Oleh Aryanto Abidin Penulis adalah Staf Kebijakan Publik KAMMI Daerah Sulsel. Penulis bisa dikirimi E-mail di : aryanto@eramuslim.com , aryanto_abidin@kammi.or.id atau juga bisa dicari di tempat nongkrongnya di al_akh_mbojo81@yahoo.com

Tulisan ini pernah dipublikasikan di portal KAMMI (www.kammi.or.id) Pada tanggal 18/12/2005
Akhir-akhir ini bangsa kita diperhadapkan pada kondisi yang serba sulit dan serba kacau. Cobaan demi cobaan datang silih berganti menghantam pondasi bangsa kita yang memang sudah rapuh ini. Betapa tidak, belum juga usai perdebatan mengenai kontroversi kenaikan BBM, awal oktober lalu secara bersamaan musibah bom kembali mengguncang Bali. Celakanya lagi targedi bom bali berbarengan dengan pengumuman pemerintah menaikan harga BBM. Tapi dalam tulisan ini tidak hendak mebahas tentang tragedi bom bali. Sekarang, dimana-mana kita membaca berita di media masa tentang negeri kita yang dilanda flu burung, di makassar warga terkena virus antraks, di NTB terjadi busung lapar, lalu di beberapa daerah terjangkit polio. Sekarang, 55 warga yahukimo meninggal dunia akaibat kekurangan pangan. Sungguh, ini merupakan kado yang menyakitkan bagi masyarakat kita.
Penghapusan subsidi BBM oleh pemerintah merupakan pil pahit yang harus ditanggung oleh masyarakat, dimana naiknya harga BBM diikuti pula oleh naiknya kebutuhan pokok. Oleh karenanya subsidi BBM dialihkan menjadi system kompensasi. Entah saking cerdas atau kehilangan akal. Pemerintah merealisasikan dana kompensasi dengan system Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang justru membuat masyarakat kita layaknya pengemis. Setiap hari kita menyaksikan orang-orang miskin itu mengantri hingga ratusan meter. Bahkan tak jarang ada yang meregang nyawa di lokasi antrian demi uang 100 ribu. Yang lebih parahnya lagi Sistem BLT ini justru menimbulkan potensi konflik horizontal. Kepala desa yang ditikam warganya, kantor desa yang dirusak massa dan berbagai macam bentuk konflik lainnya yang kesemuanya implikasi dari system BLT.
Dengan adanya program BLT ini, masyarakat kita ramai-ramai mencap diri menjadi miskin, sehingga jumlah penduduk miskin bertamabah banyak. Kalau dulu masyarakat kita malu disebut orang miskin, sekarang malah terbalik justru tambah senang di daftar sebagai orang miskin. Alasannya sederhana, hanya karena uang 100 ribu walau nyawa taruhannya. Kebijakan BLT ini justru mereproduksi gaya hidup baru dalam masyarakat kita yakni gaya hidup konsumeristik. Betapa tidak, uang yang hanya 100 ribu itu dalam waktu tiga hari saja habis. Pemerintah kita justru menciptakan budaya konsumeristik dalam masyarakat kita. Bukankah budaya konsumeristek juga bagian sistemik dari kapitalisme (yang juga anak kandung dari globalisasi)?.

KOBOI DAN WAKIL RAKYAT
Rupanya kondisi ini tidak membuat hati pemerintah dan wakil rakyat kita merasa iba sedikitpun. Akan tetapi pemerintah dan wakil rakyat kita dengan teganya meningkatkan anggaran belanja mereka. Realitas terkini yang menjadi tontonan menyedihkan bagi kita adalah perilaku para wakil rakyat kita. Disaat kondisi masyarakat kita yang separuh nafas akibat menanggung biaya hidup yang tinggi akibat kenaikan BBM, wakil rakyat kita dengan tidak tahu malu meminta tunjangan gaji sebesar 10 juta per bulan. Dan Kalau tidak ada laknat Tuhan, Januari 2006 nanti kenaikan tunjangan sebesar 16 % akan ada di saku anggota dewan kita (Baca Kompas 14/12). Dengan alasan untuk kelancaran kerja serta demi kepentingan rakyat (kalau tidak ingin dikatakan memperkaya diri sendiri). Alasan seperti ini menjadi pemanis dalam melakukan pembenaran (justifikasi) di media-media massa. Masih punya nyalikah mereka untuk memperjuangkan nasib 200 juta lebih rakyat yang mereka wakili?.bahkan selama satu tahun duduk di senayan hampir tidak ada prestasi yang membanggakan yang mereka lakukan. Prestasi yang “membanggakan” adalah seringnya ketidakhadiran mereka dalam setiap rapat paripurna atau rapat tiap komisi. Berbeda dengan koboi, wakil rakyat kita justru bersikap sebaliknya mau bekerja kalau ada tunjangan atau proyek. Amat menyakitkan memang, di saat masyarakat kita yang sedang kesulitan mendapatkan BBM dengan harga murah, wakil rakyat kita justru meminta tunjangan 10 juta rupiah per bulan. Padahal rakyat yang mereka wakili hanya mendapat jatah 100 ribu rupiah per bulan itupun harus antri ratusan meter. Wakil rakyat kita, cukup datang, duduk, diam dengar dan sedikit tanda tangan maka gajipun ada di tangan. Tak perlu mengantri untuk dapat melegalkan tunjangan 10 juta rupiah, cukup beretorika mengatas namakan rakyat dan sedikit kongkalikong sesama anggota dewan dan juga sedikit main mata dengan kalangan eksekutif maka tentulah dana tunjangan 10 juta rupiah per bulan ada di tangan. Lalu dimana keberpihakan mereka atas nasib rakyat Indonesia yang mereka wakili?. Lantas bolehkah kita mengatakan mereka adalah wakil rakyat?. Rasa-rasanya saat ini kita sulit untuk mengatakan mereka adalah wakil rakyat. Sebaiknya kita mempercayai koboi. Koboi turun dari gunung membela rakyat kecil dari para penjahat, lalu kembali lagi ke gunung tanpa mengharapkan imbalan sepeserpun. Lalu pertanyaannya, apakah mereka pernah menonton film tentang koboi yang baik hati atau legenda zorro?. Rasa-rasanya saya tak percaya kalau mereka belum menontonnya atau mendengar atau membacanya dalam cerita komik maupun novel. Saya khawatir justru WAKIL RAKYAT KITA KURANG BAHAGIA MASA KECILNYA, sehingga untuk meyisihkan waktu luang untuk sekedar menonton atau membaca tentang heroiknya zorro dan koboi yang baik hati dalam membela rakyat kecil dan tertindas.

PEMERINTAH DAN WAKIL RAKYAT KITA BUTA TULI
Kemana wakil rakyat dan pemerintah kita berpihak?. Sepertinya pertanyaan itu dengan sangat mudah kita jawab sesegera mungkin. Jawabannya mereka tidak berpihak ke rakyat. Mereka berpihak pada kepentingan mereka sendiri. Fenomena ketidak berpihakan mereka terhadap nasib rakyat (padahal mereka dipilih langsung oleh rakyat) terlihat jelas yakni dengan menaikan harga BBM. Wakil rakyat kita sama saja buta dan tulinya dengan pemerintah. Ada indikasi perselingkuhan antara DPR dan Pemerintah tekait dengan kebijakan pemerintah tersebut. Naiknya gaji anggota DPR adalah tidak lain politik balas jasa dari pemerintah yang telah menggolkan kebijakan menaikan harga BBM. Lambannya pemerintah dalam mengatasi berbagai masalah yang menimpa bangsa ini merupakan bukti ketidak becusan pemerintah kita. Bagaimana dengan wakil rakyatnya?.
Wakil rakyat kita sama saja, jangankan untuk mengawasi eksekutif (Pemerintah), mengawasi diri sendiri saja susah. Buktinya banyak anggota DPR ( baru terungkap) menjadi calo. Lebih menggelikan lagi, aksi wakil rakyat kita yang memepertontokan adu otot di dalam rapat. Maka wajarlah kalu Gus Dur menyebut wakil rakyat kita seperti Taman Kana-Kanak.
Wakil rakyat kita sama sekali Buta tuli. Ditengah suasana krisis yang melanda negeri ini, mereka enak-enak melakukan kunjungan kerja ke luar negeri (untuk sekedar tidak dikatakan pergi rekreasi). Hal ini dilakukan oleh wakil rakyat kita dari pusat hingga daerah. Lalu apa hasil dari kunjungan kerja mereka?, Adakah yang dirasakan langsung oleh rakyat?. Jawabannya nol Besar. Kenapa rakyat kita masih menderita?, Kenapa rakyat kita masih miskin?, sementara pajak yang mereka bayarkan kepada negara justru hanya untuk memepertebal kantong pemerintah dan wakil rakyat kita. Lalu dimana mata dan telinga wakil rakyat kita ketika masyarakat kita kesulitan membayar uang sekolah?. Haruskah mereka mengakhiri hidup mereka dengan menggantung diri lantaran malu karena terlambat membayar uang sekolah?. Wakil rakyat kita kemana?. “Entahlah kawan” Jawab teman diskusi saya. “Ah, mungkin mereka sedang main golf, atau sibuk cari daun muda di tempat hiburan malam.” Lalu dia bertanya lagi “mana yang kamu pilih, jadi wakil rakyat atau jadi koboi?”. Lalu saya menjawab, “Saya lebih memilih jadi wakil rakyat sekaligus jadi koboi”. Kami bertigapun tertawa terbahak-bahak, “Ha…ha…ha". (aryanto81)
[Read More...]


Popular Posts

Popular Posts Widget
 

Categories

Recent Comments

Stay Connected

http://www.text-link-ads.com/xml_blogger.php?inventory_key=L6TKZHMZ15BNNYYQULG7&feed;=2

About Me

My Photo
aryantoabidin
Welcome to my blog. Aryanto Abidin. That is my original name, while cyber name for this blog. I just ordinary people who are learning to read and understand the existence and I think about indonesiaan.
View my complete profile

Popular Posts

Return to top of page Copyright © 2010 | Platinum Theme Converted into Blogger Template by HackTutors