Revitalisasi Peran Lembaga Kemahasiswaan
(Tanggapan atas Tanggapan Wiwin Suwandi)
Oleh: Aryanto Abidin*
*Penulis adalah wakil Presiden BEM Unhas 2006-2007,
Sekum HMI Komisariat Perikanan 2002-2003.
(Dimuat di Penerbitan Kampus Identitas edisi awal Juni 2007)
Membaca tulisan saudara Wiwin Suwandi yang berjudul Reposisi Peran Lembaga Kemahasiswaan (identitas, edisi awal Mei 2007), sepertinya kita diajak untuk membedah fenomena kemahasiswaan kita. Tulisan tersebut merupakan tanggapan atas tulisan penulis yang berjudul Matinya Lembaga Kemahasiswaan Kita (Identitas, edisi Awal April 2007). Tulisan tersebut (meminjam istilahnya Wiwin Suwandi) merupakan teguran universal bagi siapa saja, termasuk bagi penulis sendiri. Dalam tulisannya tersebut Wiwin Suwandi, menitik beratkan pada dua permasalahan sebagai pijakan berpikirnya, yakni ideologi gerakan dan metode pengkaderan. Sayanganya, Wiwin Suwandi tidak secara tegas menjelaskan dasar keyakinannya, sehingga peran lembaga kemahasiswaan perlu direposisi. Akibatnya, wilayah analisisnya hanya bermain pada wilayah periferi dan terkesan hambar.
Wiwin Suwandi juga berulang kali mengambil sampel tentang gerakan mahasiswa ’98, yang mampu menumbangkan rerzim orde baru, sebagai contoh ideal dan referensi berharga akan perlawanan mahasiswa melawan rezim otoriter. Dalam pandangan saya, gerakan mahasiswa ’98 justru gagal mengawal reformasi yang telah mereka mulai. Padahal, gerakan mahasiswa ’98 seharusnya membuat rencana strategis jangka panjang untuk mengawal reformasi. Sayangnya, gerakan mahasiswa ’98 terkesan hanya untuk menjatuhkan rezim yang berkuasa pada saat itu. Maka jadilah gerakan mahasiswa tak ubahnya seperti koboi yang turun gunung jika terjadi ketidak beresan, lalu setelah aman, kembali ke habitat semula dan membiarkan orang-orang yang tidak bertanggung jawab memerintah kembali. Apapun namanya, melalui tulisannya tersebut, Wiwin Suwandi telah melakukan hal yang terbaik, yakni sebuah ijtihat intelektual yang mencerahkan.
Butuh Revitalisasi
Menyelami lebih jauh tanggapan Wiwin Suwandi tersebut, justru menimbulkan keresahan dan tanda tanya baru bagi kita, termasuk penulis sendiri. Reposisi peran seperti apakah yang coba ditawarkan oleh Wiwin Suwandi, sebagai ‘obat kuat’ atas mandulnya lembaga kemahasiswaan kita? Serta mulai dari mana? Setidaknya itulah pertanyaan-pertanyaan retoris yang patut kita gugat kepada Wiwin Suwandi. Padahal, kita harus memiliki pijakan awal yang jelas untuk mengatakan bahwa lembaga kemahasiswaan itu harus direposisi.
Agaknya Wiwin Suwandi lupa, bahwa peran lembaga kemahasiswaan yang termanifestasi dalam gerakan mahasiswa adalah mengawal demokrasi dengan mengusung gerakan moral dan gerakan politik. Hanya saja untuk konteks kekinian, hal itu nyaris hilang dari lembaga kemahasiswaan kita. Menurut hemat saya, peran lembaga kemahasiswaan tidak perlu direposisi, akan tetapi hanya butuh revitalisasi atau penguatan kembali. Hal ini disebabkan karena eksistensi lembaga kemahasiswaan tetap memposisikan dirinya berada pada kerangka ideal tersebut, yakni gerakan moral dan gerakan politik. Maka jangan heran, kalau gerakan mahasiswa yang berjalan sekarang terkesan responsif dan cenderung reaksional. Dalam artian, gerakan mahasiswa hanya ingin terlihat populis agar tidak dibilang mati, serta agar terlihat macho. Setelah itu, gerakan mahasiswa pulang ke kandangnya (baca:kampus) sambil menunggu (untuk tidak dibilang tidur pulas) isu yang lebih populis dan seksi. Seperti itulah gerakan mahasiswa kita sekarang. Untuk itu, gerakan mahasiswa tidak boleh hanya mengandalkan gerakan yang berbasis masa dan gerakan moral saja, akan tetapi perlu penguatan pada basis gerakan politik ekstra parlementer. Gerakan politik tidak lantas diidentikan dengan partai politik, walaupun pada kesempatan tertentu pengamat sosial dan budaya dari UI Fajroel Rahman menyarankan, agar gerakan mahasiswa merebut dan membangun kekuasaan lewat partai politik berbasis mahasiswa (lihat:www.jurnalnasional.com). Menurut Andi Rahmat, mantan ketua KAMMI Pusat mengatakan, gerakan politik harus dimaknai sebagai upaya mempengaruhi kebijakan (Sabili,28/2/2001:69). Namun, gerakan politik tidak boleh berhenti pada upaya mempengaruhi kebijakan saja, akan tetapi juga harus mengawal kebijakan. Hal ini perlu, agar demokrasi tidak dibajak oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab (baca: demokrasi kaum penjahat).
Revitalisasi juga perlu dilakukan pada tataran ideologi. Seperti yang juga dirisaukan oleh Wiwin Suwandi, bahwa gerakan mahasiswa harus memiliki ideologi yang jelas. pada tataran ini penulis sangat sependapat, sebab tanpa ideologi, gerakan mahasiswa seperti sebuah bangunan yang rapuh dan terkesan hambar dalam tataran praksisnya. Harus diingat juga, bahwa perbedaan ideologi antar kelompok gerakan, merupakan potensi besar yang dapat memicu pecahnya gerakan mahasiswa. Hal ini tergantung bagaimana kita cerdas mengelola perbedaan tersebut. Adalah suatu hal yang utopis bila kita ingin menyatukan ideologi antar kelompok pergerakan. Karena tiap-tiap kelompok pergerakan punya karakter dan ciri tersendiri. Oleh karena itu, perbedaan ideologi harus bisa didialogkan agar tidak terjadi superioritas masing-masing kelompok gerakan. Hal ini perlu dilakukan guna mencari titik temu antar kelompok pergerakaan yang berbeda ideologi. Maka, titik temu yang paling indah adalah pada kesamaan wacana dan isu gerakan yang diusung. Dengan demikian, maka perbedaan ideologi gerakan akan menjelma menjadi kekuatan besar. Bukankah pluralitas itu indah dan seksi?
Diskursus Gerakan dan Kerelaan Mayoritas
Diskursus (baca:wacana) gerakan mahasiswa akan sedikit menarik jika kita reflesikan pada institusi yang bernama unhas. Dalam pandangan saya, gerakan mahasiswa unhas memiliki ciri khas tersendiri, yakni kemapanan wacana gerakan. Sayangnya wacana gerakan tidak pernah membumi. Wacana gerakan hanya milik pribadi elit lembaga kemahasiswaan, akibatnya wacana gerakan terkesan melangit. Oleh karenanya, aktivis mahasiswa harus mampu membina kemesraan dengan media kampus sebagai tools penunjang dalam membumikan wacana gerakan. Pada tataran ini, hampir tidak ditemukan aktivis mahasiswa yang mampu memainkan peran tersebut. Padahal, pertarungan kita sekarang adalah pertarungan wacana. Maka benarlah Gramsci lewat teori hegemoninya, siapa yang menguasai kepala orang (baca:wacana), maka ia akan menjadi pemenangnya. Ambil contoh wacana unhas menuju BHP. Kalau kita jeli melihatnya, maka kita akan menemukan diskursus yang saling berkompetisi untuk menjadi pemenang yaitu antara birokrat kampus dan mahasiswa. Itu hanya contoh kecil.
Dalam konteks gerakan, meminjam terminologi HS Dillon (Kompas, 19 Mei 2007) rupa-rupanya kita belum punya kerelaan mayoritas. Kerelaan mayoritas untuk menanggalkan simbol primordial yang dapat merampas keutuhan gerakan mahasiswa. Simbol primordial dapat berupa superioritas fakultas, warna almamater, semangat fakultas yang bukan pada tempatnya. Sedikit berkaca pada aksi 2 Mei lalu dalam rangka memperingati Hardiknas. Hampir saja terjadi kejadian yang memalukan antar mahasiswa unhas sendiri. Persoalannya sepele, hanya karena membawa panji lembaga kemahasiswaan tingkat universitas. Walau sebelumnya ada kesepakatan tidak boleh ada panji lembaga kemahasiswaan selain panji Aliansi Mahasiswa Unhas.
Namun pada kenyataannya, panji fakultas berkibar angkuh di lokasi aksi. Ini menandakan semangat fakultas yang bukan pada tempatnya, masih kental mewarnai aksi mahasiswa unhas. Ditambah lagi jenderal lapangan yang terlalu akomodatif serta gampang didikte oleh bukan peserta aksi (pihak eksternal). Hasilnya, aksi yang amburadul. Orang-orang seperti ini layak diidentifikasi, agar tidak menodai kemurnian isu dan gerakan yang diusung. Maka, sulit untuk tidak mengatakan bahwa aksi 2 Mei lalu ternodai oleh pihak tertentu, terkait dengan pilkada sulsel. Ini menandakan ketidak konsistenan dalam menjaga kesatuan dan kemurnian isu yang diusung. Arogansi almamaterpun juga menjadi penyakit yang mematikan dalam konteks gerakan mahasiswa. Padahal, lembaga mahasiswa dan warna almamater hanyalah kendaraan dan simbol eksistensi. Yang harus kita lihat yakni, kesamaan isu dan kemurnian gerakan yang diusung. Warna almamater tidak harus menjadikan kita mengklaim bahwa isu pendidikan sebagaiamana yang diusung pada aksi 2 mei lalu, hanya milik sah alamater tertentu. Hal ini justru ada hubungan yang saling mematikan antara institusi dari almamater yang berbeda. Persoalannya hanya karena siapa yang mayoritas. Jika demikian, alangkah angkuhnya kita. Sekali lagi, hal itu terjadi karena kita belum punya semangat kebersamaan dan kerelaan mayoritas untuk menanggalkan simbol-simbol primordial yang melekat angkuh pada kedirian kita.
Mencari Energi Gerakan
Gerakan mahasiswa memang butuh ideologi sebagai energi gerakan, namun jangan lupa, ideologi gerakan saja tidak cukup. Masih banyak varian energi gerakan yang lain yang perlu dibenahi. Dengan demikian, gerakan mahasiswa tidak mengalami ‘ejakulasi dini’ serta memiliki nafas panjang dalam mengawal demokrasi. Sehingga gerakan dapat suistainable serta tidak bersifat reaksional. Mengutip Brian Yuliarto (www.brianyuliarto.com) yang mencoba menawarkan beberapa suplemen sebagai energi gerakan. Pertama, memiliki pemahaman yang baik tentang hakikat pergerakan. Tujuan akhir sebuah pergerakan selayaknya dipahami secara utuh oleh seluruh angota gerakan. Kedua, mampu menjaga ritme gerakan. dalam artian mengetahui kapan pergerakan harus bergerak cepat, kapan bergerak lambat atau bahkan tidak melakukan gerakan publik. Ketiga, mampu melihat permasalahan dengan baik. Keempat, memiliki pemimpin yang berkarakter. Pemimpin bukanlah segala-galanya bagi sebuah pergerakan, tetapi pemimpin yang tidak memiliki karakter kuat adalah awal kehancuran bagi sebuah gerakan. Tulisan ini hanyalah bagian dari ikhtiar penulis dalam membumikan wacana gerakan. Semoga!.