Kelebihan Mozilla FireFoxLihat kelebihan lainnya di sini : http://insanecats.com/firebird atau http://icttmg.wordpress.com/2007/06/28/tahukah-anda-kelebihan-browser-mozilla-firefox/
Kelebihan Mozilla FireFoxSelamat Idul Adha 1428 H
Semoga semangat pengorbanan Nabi Ibrahim As menjadi teladan bagi kita semua. Semoga kita rela mengorbankan rasa dendam dan kebencian yg menyelimuti jiwa kita.
“Thanks Pak Dokter”
Sore hari yang sedikit mendung, saya memacu motor setengah terburu-buru, dari arah lokasi KKN (Kecamatan Moncongloe, Kabupaten Maros) menuju warnet. Sperti biasa, setiap hari kerja warnet itu selalu kebanjiran pelanggan. Sayapun tidak kebagian tempat. Saya memutusakan untuk menunggu. Di saat menunggu, secara tidak sengaja saya bertemu Asta. Rupanya Asta sering online di Aeronet. Asta adalah seorang dokter muda yang sedang menyelesaikan Co-as di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo
Kepiawaiannya mengutak-atik blog inilah, yang membuat blog saya seperti yang anda lihat sekarang. Tampilan Blog saya yang sekarang ini (versi beta) adalah hasil kreasinya selama hampir 2 jam offline kami pada Rabu sore (28 November). Dengan sabar Asta mengutak-atik setiap kesalahan pada blog saya maupun bhasa kode template blog yang nggak matching. Saya sangat senang dengan tampilan blog yang sekarng ini. Layout 3 kolom yang rapi, yang selama ini saya idamkan. Rasa-rasanya saya akan sering lagi ngeblog deh. “Doakan saya pemirsa!” agar saya tetap konsisten meng-update content blog. Akhirnya, Thanks Pak Dokter, Thanks Bro! Saya berhutang budi sama antum.
Matinya Lembaga Kemahasiswaan Kita
Ada apa dengan lembaga kemahasiswaan kita hari ini? Mungkin pertanyaan itu bercokol angkuh dalam akal sehat kita. Pertanyaan tersebut merupakan sebuah bentuk keresahan terhadap lemahnya (untuk tidak dibilang mandulnya) lembaga-lembaga kemahasiswaan kita dalam mengawal isu-isu ke-unhasan, serta isu regional maupun nasional. Kenyataan ini seolah memaksa kita untuk mengambil sebuah conclution, bahwa hampir semua lembaga kemahasiswaan kita hari ini mengalami disorientasi. Bahkan yang cukup mencengangkan lagi adalah, lembaga kemahasiswaan kita cenderung menjadi anjing penjaga (watch dog) kekuasaan. Ketidak berdayaan lembaga mahasiswa kita hari ini, seolah menjadi pembenaran atas matinya gerakan mahasiswa Unhas. Lalu dimanakah mereka yang mengatas namakan dirinya aktivis, para pimpinan lembaga fakultas maupun jurusan? Mungkinkah mereka sedang sibuk tawar menawar dengan kekuasaan atau dengan birokrat kampus ini? Ataukah mereka sedang gamang, lalu menjual idealisme dengan mengatas namakan mahasiswa?. Jika demikian, sungguh menjijikan dan patut kita sayangkan.
(Lembaga) Mahasiswa dan Kelelahan Idealisme
Hampir tidak ada yang membantah, jika akhir-akhir ini kondisi lembaga kemahasiswaan di republik ini sedang mengalami titik kejenuhan yang akut. Tak terkecuali di sulsel dan terkhusus di unhas. Kondisi ini seolah menjadi penyakit berkepanjangan yang tak kunjung sembuh. Lantas, gerangan apakah yang membuat lembaga-lembaga mahasiswa yang ada di Unhas bernasib demikian? Mungkinkah lembaga-lembaga mahasiswa gagal melakukan transformasi nilai dalam setiap jenjang pengkaderan? Ataukah sebaliknya, para mahasiswanya yang kesulitan menerima apa yang disuapi senior-seniornya dalam ruang-ruang pengkaderan?. Atau jangan-jangan kita lupa diri tentang eksistensi kita? Rasa-rasanya masih banyak pertanyaan nakal yang muncul dalam kepala kita masing-masing. Pertanyaan-pertanyaan di atas setidaknya sedikit mewakili dari sedikit kita yang resah.
Boleh jadi (lembaga) mahasiswa kita hari ini mengalami kelelahan idealisme sebagaimana yang disinyalir oleh Syahrin Harahap dalam bukunya yang berjudul Penegakan Moral Akademik di Dalam dan Di Luar kampus. Ada hal yang yang mencolok pasca reformasi 1998, gerakan mahasiswa mengalami tidur yang teramat panjang dan sesekali berkompromi dengan penguasa. Moral force tidak lagi menjadi roh bagi setiap gerakan mahasiswa, pun halnya yang terjadi di unhas. Kita teramat sulit untuk bersatu dan berteriak lantang di depan gedung berlantai delapan, yang berdiri mengangkang dan sesekali mengolok-olok kegirangan ke arah kita, lantaran kita tidak mampu berbuat banyak untuk mahasiswa. Kita juga teramat sulit berkumpul bersama di depan pintu satu sekedar meneriakan keresahan walau hanya sesekali.
Maka tidak heran jika muncul pertanyaan, gerangan apakah yang menyebabkannya demikian? Mengutip Syahrin Harahap (2005), pertama banyak dari mahasiswa mengalami kelelahan idealisme. Banyak dari kita (baca:mahasiswa) yang selama ini ideal, seringkali merasa sendiri, sehingga gerakan yang dibangunnya pun adalah gerakan yang kesepian, lalu menjadi gerakan yang merana. Akhirnya mereka menjadi pragmatis dan ikut arus dan terjebak di dalamnya. Kedua, terjebak dalam sektarianisme. Dalam konteks unhas, fenomena sektarianisme dapat terindikasi dari lemahnya komunikasi antar sesama lembaga mahasiswa tingkat fakultas (BEM/Senat), ditambah lagi dengan arogansi dan eksklusifitas fakultas masing-masing. Hal ini menimbulkan gejala superioritas pada masing-masing lembaga kemahasiswaan. Akibatnya lembaga kemahasiswaan saling berhadap-hadapan dalam mengawal isu serta dalam menyelesaikan permasalahan internal kelembagaan. Padahal, harusnya kita berhadap-hadapan dengan penguasa yang zalim atau pengelola kampus yang otoriter, serta tidak berpihak kepada kepentingan mahasiswa. Ketiga, terjebak dalam etika heteronom. Yang dimaksud dalam hal ini adalah terkait dengan motivasi suatu tindakan serta gagasan oleh gerakan mahasiswa, bukan karena rasa kewajiban untuk menegakan kebenaran, akan tetapi lebih banyak didominasi oleh motivasi pragmatis dalam berbagai bentuk pamrih. Selain itu, ada hal lain juga yang menurut saya turut menciptakan kelelahan idealisme. Adalah minimnya kesadaran kritis mahasiswa, akibatnya mahasiswa terseret arus yang begitu kuat yang berada diluar diri kita, yakni kapitalisme global yang hadir dalam bentuk kesenangan semu (hedonisme). Maka di sinilah peran lembaga-lembaga kemahasiswaan dibutuhkan. Lembaga mahasiswa harus mampu menginternalisasi nilai kearifan guna merangsang kesadaran kritis.
Borjuis imut-imut
Menjadi pengurus lembaga mahasiswa adalah sebuah pilihan sekaligus panggilan moral. Tidak semua orang mampu melakoninya, apalagi mengahiri pilihannya tersebut dengan indah dan penuh prestasi. Menjadi pengurus lembaga kemahasiswaan harus siap (mental) menerima kritikan. Sebab kalau tidak, mereka akan dilindas oleh kekerdilan jiwa mereka sendiri. Adalah menjadi hal yang lumrah jika mereka teramat dekat dengan pengambil kebijakan kampus. Namun yang menjadi masalah jika kedekatan itu terjalin karena hitung-hitungan pragmatis, maka bersiap-siaplah dicap sebagai penjilat. Pengurus lembaga kemahasiswaan terkadang menjadi tersanjung bila dipanggil rapat di tempat-tempat mewah, tanpa harus menganalisa lebih awal, ada apa di balik itu semua. Bukankah di kampus kita diajak berpikir kritis?
Ada fenomena menarik yang terjadi di kalangan pengurus-pengurus lembaga kemahasiswaan kita akhir-akhir ini. Sebut saja kebiasaan dari sebahagian mereka dalam menyelesaikan atau perbincangan tentang kemahasiswaan justru terbangnun dari kafe-kafe. Hal ini mengingatkan saya pada saat pemilu raya tahun lalu, dimana negosiasi politik lebih banyak terbangun dari kafe-kafe. Hal ini tidak salah, namun yang menjadi masalah jika wacana kemahasiswaan terlalu sering didiskusikan di kafe-kafe yang cenderung bernuansa remang-remang, maka wacananya pun menjadi bersifat elitis. Jadi, praktis yang paham tentang isu-isu kemahasiswaan adalah hanya para pengurus lembaga. Fenomena-fenomena tersebut di atas (meminjam istilahnya Alwi Rahman) yang ditengarai sebagai perilaku borjuis imut-imut di kalangan mahasiswa.
Fenomena lain adalah matinya kelompok-kelompok diskusi di kalangan mahasiswa. Anehnya, justru yang muncul adalah kelompok-kelompok gosip. Bahkan gosip sekarang tidak lagi lakon tunggal si mahasiswi (baca:perempuan) akan tetapi juga menjangkiti si mahasiswa (baca:laki-laki). Tema-tema gosippun beragam. Misalnya saja, apa merek ponsel? apa merek bedak dan gincu?, tipe cowok/cewek idaman, artis idola, apa merek jeansmu? atau malam mingguan nongkrong di mana?. Bahkan majalah-majalah mode dan remaja menjadi dominan mengisi tas mereka ketimbang buku bacaan yang mencerdaskan. Hal-hal tersebut seolah menjadi pembenaran atas kelelahan (baca:ke-bete’an) intelektual kita dalam membaca realitas. Kita menjadi bangga ketika kita memamerkan tipe HP keluaran terbaru atau merek-merek baju dan parfum terkenal. Atau sekedar memamerkan bagian-bagian tubuh hingga membentuk cetakan dan lekukan yang sebenarnya tidak pantas untuk dipamerkan. Kondisi seperti ini, membuat mereka seperti sedang mengalami puncak kenikmatan. Sepertinya (bagi mereka) hal tersebut terlalu mubadzir untuk tidak dilakoni. Fenomena-fenomena ini juga ditengarai sebagai perilaku borjuis imut-imut di kalangan mahasiswa.
Terjebak Arus Primordial
Seperti yang telah saya sebutkan di atas, bahwa salah satu perilaku primordial yang dominan mewarnai interaksi kemahasiswaan kita adalah ego fakultas. Ruang dilaetika antara sesama lembaga kemahasiswaan justru hampir tidak menemukan ruangnya. Sehingga menyebabkan munculnya jurang pembatas antara fakultas yang satu dengan yang lainnya teramat jauh. Boleh jadi hal ini muncul dari ruang pengkaderan kita yang cenderung fakultatif serta doktrin fakultas yang teramat kebablasan. Bukankah kita berada dalam ruang universal yang disebut dengan Universitas?. Oleh karenanya, kenapa kita tidak mencoba membangun sebuah metode pengkaderan yang menghargai universalitas? Sehingga dengan demikian melahirkan kebersamaan, serta menghargai perbedaan. Selain itu juga, persoalan pelik yang menimpa lembaga-lembaga kemahasiswaan kita adalah terlalu berlama-lama pada permasalahan internal. Bahkan yang lebih menyedihkan lagi adalah kelompok-kelompok pergerakan justru gagal menemukan titik temu dalam membangun wacana gerakan. Kelompok-kelompok mahasiswa ini justru cenderung saling ’membid’ahkan’. Mereka merasa paling benar sendiri dan merasa kelompoknyalah yang paling ideal. Maka jadilah kebenaran itu hanyalah milik sah kelompok mereka (klaim kebenaran tunggal). Bukankah kebenaran itu banyak sisinya?. Mereka yang merasa benar sendiri tidak akan mampu melahirkan perubahan yang signifikan. Justru yang terjadi adalah gerakan yang mereka bangun adalah gerakan yang kesepian. Maka hampir dipastikan bahwa kelompok mahasiswa seperti inilah yang akan menghancurkan lembaga-lembaga kemahasiswaan kita. Wallahu’alam bishawaab.
Laptop, Tukul dan Anggota DPR
“Kembali ke laptop!”. Siapa yang tidak familiar dengan kalimat tersebut? Pasti kalimat tersebut sangat familiar di telinga kita. Adalah Tukul Arowana-pembawa acara empat mata yang ditayangkan di salah satu stasiun televisi swasta-yang mempopulerkannya. Entah berapa puluh kali dia mengulang kalimat itu dalam satu kali tayang. Inilah yang membuat Tukul menjadi presenter terlaris dan terkenal saat ini. Dengan laptopnya itu, pertanyaan-pertanyaan cerdas terus meluncur dari mulutnya. Dengan satu pertanyaan saja, mulutnya tak pernah berhenti berkreasi melontarkan pertanyaan cerdas, nakal dan lebih banyak menggelitiknya. Lalu apa hubungannya dengan anggota DPR? Jelaslah! Anggota DPR juga ingin punya laptop. Hanya saja bedanya, kalau Tukul laptopnya disediakan oleh si pemilik acara tersebut. Lalu anggota DPR, dapat laptop darimana? Simpel saja, merampok uang rakyat. Saat rapat, tinggal sebut nominal, tentukan spesifikasinya, semua setuju. “Jadi deh!” . Gampangkan merampok uang rakyat?. Beginilah gaya merampok ala anggota DPR. Nggak perlu capek-capek nodong orang. Mereka tinggal nodongkan pulpen untuk tanda tangan. Nggak seperti koboy di texas sana, yang main nodong senjata.
Kita sepertinya terkaget-kaget mendengar harga laptop yang mencapai nominal 21 juta rupiah tersebut. Pertanyaannya kenapa harus 21 juta? Atau kenapa anggota DPR tidak mampu membeli laptop? Padahal dengan gaji, plus tunjangan bulanan yang sudah melampaui nominal 100-an juta, mereka bisa membeli sendiri. Jangan hanya ngomong untuk kepentingan rakyat pas kalau ada maunya saja. Sementara di sisi lain, dengan gaji dari uang rakyat juga, mereka tidak berani berkorban untuk membeli laptop. Padahal, kalau untuk mengetik saja dengan laptop harga 5-7 juta saja sudah dapat laptop bagus. 21 juta sepertinya terlalu mahal untuk urusan mengetik. Kita begitu miris kalu meyaksikan berita di tivi yentang kursi anggota DPR saat rapat, yang hampir semuanya kosong. Ada juga yang tidur, mungkin kekenyangan makan uang haram. Atau bisa jadi semalaman habis dari panti pijat. Atau mungkin kecapekan setelah semalaman afair dengan selingkuhannya. Seperti kasus si penyanyi dangdut itu. Saya kok jadinya sok tau sih? Lalu kenapa mereka begitu nekat dengan harga selangit tersebut? Ya..., apalagi kalu bukan untuk gaya-gayaan, gengsi-gengsian. Pantasan banyak orang yang bernafsu ingin jadi anggota dewan.
Anehnya lagi, hampir tidak ada satu partai pun yang berani menyatakan menolak pengadaan laptop tersebut. Apakah partai-partai tersebut buta dan tuli, hingga tidak bisa melihat dan mendengar penderitaan rakyat yang akhir-akhir ini semakin terjepit?. Harga beras yang naik, bencana dimana-mana, lumpur lapindo yang tak kunjung berakhir, lapangan kerja yang sangat sulit, kelaparan di NTT. Ini hanyalah sekelumit persoalan bangsa yang tak kunjung henti. Sementara di sisi lain, anggota dewan yang katanya wakil rakyat, kok begitu tega menghambur-hamburkan uang rakyat. “Gila ya!”. Sepertinya saya tidak perlu merasa aneh deh dengan sikap partai seperti ini. Sertidaknya, uang untuk beli laptop tidak keluar dari kantong sendiri. Sehingga dengan demikian, partai-partai dapat setoran lebih dari anggota-angotanya. “Lho untuk apa?”. Tanya temanku yang tulalit. “So pikun lo!”. Kata teman saya yang asli betawi itu. ”Ya iyalah, 2009 kan sudah dekat”. Timpal teman saya yang satu lagi. ”Emangnya 2009 ada apa ya?”. Tanyanya lagi. “Ha…???. Masih Belum nyambung juga?. Pemilu bego!”Jelas kedua teman saya. “Kalau begitu kita boikot aja pemilu. Lanjut temanku yang tulalit. ”Tumben kamu nyambung”. Sela temanku yang asli betawi itu. ”Emang alasan kamu apa mau boikot pemilu?” Tanya temanku yang dari minang. ”Bingung-binging ku memikirkan. Capek deh!!”. jawab teman yang tilalit. ”Ha...????. Dasar tulalit, idiot, bego”. Semoga saja anggota dewan kita tidak Bego-bego dan tulalit. Jangan sampai deh. Ting...nng!.
BHP, Praktek Haram Pendidikan Kita
Oleh: Aryanto Abidin
Mahasiswa Perikanan, Wakil Presiden BEM Unhas dan
(dimuat di penerbitan kampus Identitas edisi khusus Desember 2006)
Praktek otonomi kampus di negara kita bermula dari lahirnya peraturan pemerintah (PP) No. 60 dan 61 tahun 1999, tentang perubahan perguruan tinggi negeri (PTN) menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Lalu diperkuat oleh Undang-undang No.20 tahun 2003 tentang Sisdiknas yang mencantumkan tentang BHP pada pasal 53. Sementara perangkat hukum yang mengatur tentang itu diatur dalam undang-undang tersendiri (sekarang baru RUU BHP). Dari kedua PP tersebut, maka dipilihlah empat perguruan tinggi negeri untuk dijadikan Perguruan Tinggi (PT) BHMN. Keempat perguruan tinggi tersebut adalah UI, IPB, ITB, dan UGM. Keempat PTN tersebut diberi kewenangan untuk mengatur keuangan sendiri serta menutupi kekurangan dana operasional pendidikan. Salah satu cara yang ditempuh oleh keempat PTN tersebut adalah dengan cara menaikan SPP bagi mahasiswa. Setelah ditelusuri lebih jauh, ternyata BHMN merupakan ’pemanasan’ menuju BHP. Pro-kontra BHP juga sedang menggeliat di ke-empat kampus tersebut. Lalu, bagaimana dengan Unhas? Sepertinya syahwat menuju BHP sudah tak terbendung lagi. Sosialisasi Unhas menuju BHP semakin gencar dilakukan oleh pengambil kebijakan di kampus ini.
Walau sama-sama bertujuan menciptakan otonomi bagi penyelenggaraan pendidikan tinggi, BHMN dan BHP sebenarnya memiliki perbedaan yang sangat mencolok. Kalau pada BHMN masih dikenal kata ’milik negara’, maka, tidak demikian dengan BHP. Dengan BHP, negara sama sekali tidak memiliki peran apapun. Maka jadilah perguruan tinggi (PT) seperti sebuah corporate, atau dalam terminologi HAR Tilaar ditengarai sebagai upaya Mcdonaldisai (baca: mekdonalisasi) pendidikan. Dengan status BHMN, maka universitas memiliki kebebasan mencari biaya sebagai alternatif pengurangan subsidi dari pemerintah. Alternatif tersebut antara lain dengan menaikan SPP dan sistim penerimaan mahasiswa dengan jalur khusus. Lalu bagaimana dengan praktek BHMN di Unhas?
Sadar atau tidak sadar, praktek BHMN telah terjadi di unhas. Kenaikan SPP secara berturut-turut pada tahun 2002 dan 2003 menjadi indikasi atas itu. Hal yang paling mencolok adalah sistem penerimaan mahasiswa jalur khusus. Pada tahun 2001 di Fakultas Kedokteran Gigi menerapkan sistem penerimaan tersebut. Menyusul fakultas kedokteran dan fakultas kesehatan masyarakat. Tentu saja dengan jumlah SPP yang berbeda dengan mahasiswa yang diterima dengan jalur SPMB dan JPPB. Pada perkembangan selanjutnya, maka hampir semua fakultas dan jurusan memberikan kesempatan kepada orang ’kaya’ untuk masuk ke unhas dengan jalur khusus. Tentu dengan harga bandrol kursi yang mencapai puluhan juta. Hal lain yang sangat mencengangkan adalah semakin gencarnya komersialisasi fasilitas kampus. Hal ini sangat mencederai hak mahasiswa unhas terhadap penggunaan fasilitas kampus. Seharusnya yang lebih tepat dikenakan biaya atas fasilitas tersebut adalah institusi non unhas yang menggunakan fasilitas tersebut.
Mereduksi Tanggung Jawab Negara
Salah satu poin penting dalam pembukaan UUD 1945 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu, setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan minat dan bakat yang dimiliknya tanpa memandang status sosial, ras, etnis, agama, dan gender. Hal ini menjadi menarik jika ditelaah lebih jauh. Pembukaan UUD 1945 tersebut, mengisyaratkan adanya tanggung jawab negara dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa lewat pendidikan. Soedijarto, ketua Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia mengatakan bahwa, hampir tidak ada negara di dunia yang dalam Undang-Undang Dasarnya menempatkan kata mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagai salah satu kewajiban konstitusional pemerintah, selain Indonesia. Artinya, semangat kemunculan negeri ini juga didasari dengan keharusan untuk mencerdaskan warganya. Sayangnya, amanat UUD 1945 tersebut sangat kontra-realita dengan kondisi pendidikan kita saat ini. Pendidikan kita hari ini (oleh negara) cenderung dipersepsikan sebagai sebuah industri, yang siap memproduksi robot-robot yang mengabdi kepada kepentingan kapitalisme.
Komersialisasi dan privatisasi menjadi potret buram pengelolaan pendidikan kita hari ini. Maka, diformatlah institusi pendidikan menjadi BHMN atau BHP. Transformasi perguruan tinggi menjadi BHMN dan BHP merupakan bentuk lepas tanggung jawab negara terhadap persoalan pendidikan. Hal ini menjadi ironi, betapa tidak, pemerintah lebih rela mengorbankan dana ratusan triliun guna menyelamatkan bank swasta yang hampir bangkrut, ketimbang membenahi pendidikan kita yang terpuruk. HAR Tilaar menilai bahwa kemunculan kebijakan otonomi pendidikan bermula dari desakan lembaga donor, dalam hal ini International Monetary Fund (IMF). Dalam pandangan IMF, sektor pendidikan hanya memboroskan anggaran belanja negara saja. Dengan demikian, asumsi pemerintah tentang otonomi perguruan tinggi dapat meningkatkan kulaitas pendidikan hanyalah isapan jempol belaka. Alih-alih peningkatan kualaitas pendidikan, justru konsep otonomi perguruan tinggi (PT) ditengarai sebagai muslihat pemerintah untuk melepaskan tanggung jawabnya. Indikasi lepas tanggung jawab pemerintah, yakni dengan mengurangi subsidi untuk PT berstatus BHMN atau tak disubsidi untuk PT (yang akan) BHP. Krisis pendidikan kita hari ini telah mencapai puncak ketidak berdayaan. Akibatnya, pendidikan kita kehilangan visi mencerdaskan karena didorong oleh nafsu komersialisasi yang begitu menggebu-gebu
Walau sama-sama bertujuan menciptakan otonomi bagi penyelenggaraan pendidikan tinggi, BHMN dan BHP sebenarnya memiliki perbedaan yang sangat mencolok. Kalau pada BHMN masih dikenal kata ’milik negara’, maka, tidak demikian dengan BHP. Dengan BHP, negara sama sekali tidak memiliki peran apapun. Maka jadilah perguruan tinggi (PT) seperti sebuah corporate, atau dalam terminologi HAR Tilaar ditengarai sebagai upaya Mcdonaldisai (baca: mekdonalisasi) pendidikan. Dengan status BHMN, maka universitas memiliki kebebasan mencari biaya sebagai alternatif pengurangan subsidi dari pemerintah. Alternatif tersebut antara lain dengan menaikan SPP dan sistim penerimaan mahasiswa dengan jalur khusus. Lalu bagaimana dengan praktek BHMN di Unhas?
Sadar atau tidak sadar, praktek BHMN telah terjadi di unhas. Kenaikan SPP secara berturut-turut pada tahun 2002 dan 2003 menjadi indikasi atas itu. Hal yang paling mencolok adalah sistem penerimaan mahasiswa jalur khusus. Pada tahun 2001 di Fakultas Kedokteran Gigi menerapkan sistem penerimaan tersebut. Menyusul fakultas kedokteran dan fakultas kesehatan masyarakat. Tentu saja dengan jumlah SPP yang berbeda dengan mahasiswa yang diterima dengan jalur SPMB dan JPPB. Pada perkembangan selanjutnya, maka hampir semua fakultas dan jurusan memberikan kesempatan kepada orang ’kaya’ untuk masuk ke unhas dengan jalur khusus. Tentu dengan harga bandrol kursi yang mencapai puluhan juta. Hal lain yang sangat mencengangkan adalah semakin gencarnya komersialisasi fasilitas kampus. Hal ini sangat mencederai hak mahasiswa unhas terhadap penggunaan fasilitas kampus. Seharusnya yang lebih tepat dikenakan biaya atas fasilitas tersebut adalah institusi non unhas yang menggunakan fasilitas tersebut.
Mereduksi Tanggung Jawab Negara
Salah satu poin penting dalam pembukaan UUD 1945 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu, setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan minat dan bakat yang dimiliknya tanpa memandang status sosial, ras, etnis, agama, dan gender. Hal ini menjadi menarik jika ditelaah lebih jauh. Pembukaan UUD 1945 tersebut, mengisyaratkan adanya tanggung jawab negara dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa lewat pendidikan. Soedijarto, ketua Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia mengatakan bahwa, hampir tidak ada negara di dunia yang dalam Undang-Undang Dasarnya menempatkan kata mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagai salah satu kewajiban konstitusional pemerintah, selain Indonesia. Artinya, semangat kemunculan negeri ini juga didasari dengan keharusan untuk mencerdaskan warganya. Sayangnya, amanat UUD 1945 tersebut sangat kontra-realita dengan kondisi pendidikan kita saat ini. Pendidikan kita hari ini (oleh negara) cenderung dipersepsikan sebagai sebuah industri, yang siap memproduksi robot-robot yang mengabdi kepada kepentingan kapitalisme.
Komersialisasi dan privatisasi menjadi potret buram pengelolaan pendidikan kita hari ini. Maka, diformatlah institusi pendidikan menjadi BHMN atau BHP. Transformasi perguruan tinggi menjadi BHMN dan BHP merupakan bentuk lepas tanggung jawab negara terhadap persoalan pendidikan. Hal ini menjadi ironi, betapa tidak, pemerintah lebih rela mengorbankan dana ratusan triliun guna menyelamatkan bank swasta yang hampir bangkrut, ketimbang membenahi pendidikan kita yang terpuruk. HAR Tilaar menilai bahwa kemunculan kebijakan otonomi pendidikan bermula dari desakan lembaga donor, dalam hal ini International Monetary Fund (IMF). Dalam pandangan IMF, sektor pendidikan hanya memboroskan anggaran belanja negara saja. Dengan demikian, asumsi pemerintah tentang otonomi perguruan tinggi dapat meningkatkan kulaitas pendidikan hanyalah isapan jempol belaka. Alih-alih peningkatan kualaitas pendidikan, justru konsep otonomi perguruan tinggi (PT) ditengarai sebagai muslihat pemerintah untuk melepaskan tanggung jawabnya. Indikasi lepas tanggung jawab pemerintah, yakni dengan mengurangi subsidi untuk PT berstatus BHMN atau tak disubsidi untuk PT (yang akan) BHP. Krisis pendidikan kita hari ini telah mencapai puncak ketidak berdayaan. Akibatnya, pendidikan kita kehilangan visi mencerdaskan karena didorong oleh nafsu komersialisasi yang begitu menggebu-gebu
Mengapa Kita (harus) Menolak BHP?
Dalam konteks Unhas, akhir-akhir ini perdebatan mengenai BHP, hanya sebatas perhitungan untung-rugi ketika BHP direalisasikan. Padahal, perdebatan tersebut belumlah menyentuh pada persoalan yang lebih substansi, yakni landasan hukumnya. Tentu saja dengan tidak bermaksud mengkerdilkan hasil diskusi dan kajian sebahagian kawan-kawan kita pada tataran tersebut. Bahkan penulis sendiri meyakini, bahwa salah satu pemicu perjuangan kita dalam menolak BHP adalah pertimbangan untung dan rugi. Tentu saja yang menjadi titik tekan dalam menyorot BHP adalah persoalan ketidakadilan. Ketidakadilan yang dimaksud adalah persoalan pemerataan dan kesempatan mendapatkan pendidikan ketika BHP direalisasikan di unhas. Oleh karena itu, perjuangan kita dalam konteks menolak BHP, justru semakin memiliki daya dobrak sekiranya jika dilandasi dengan tinjauan hukum yang kuat.
Menurut Rama Pratama anggota komisi XI (komisi anggaran) DPR RI, Realisasi anggaran untuk pendidikan tahun 2006 lalu hanya sebesar 9,1 % dari APBN. Dalam kaitannya dengan itu, Mahkamah Konstitusi menyatakan ketidak setujuannya terhadap pemerintah dalam merealisasikan anggaran pendidikan yang tidak sesuai dengan UUD 1945. Dalam surat keputusannya yang bernomor, MK No. 026/PUU-III/2005 Tanggal 22 Maret 2006 menyatakan dua poin. Pertama, menyatakan UU No.13/2005 tentang APBN 2006 sepanjang menyangkut anggaran pendidikan sebesar 9,1% sebagai batas tertinggi, maka bertentangan dengan UUD 1945. Kedua, Menyatakan UU No.13/2005 tentang APBN 2006 sepanjang menyangkut anggaran pendidikan sebesar 9,1% sebagai batas tertinggi, maka tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Dalam konstitusi negara kita yakni UUD 1945 telah menekankan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan (Pasal 31 ayat 1). Sementara itu, dalam amandemen UUD 1945 pasal 31 ayat 4 yang berbunyi “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”. Demikian halnya juga dalam UU No 20 tentang Sisdiknas pasal 49 ayat 1 yang berbunyi “Dana Pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari APBD”. Oleh karena itu, maka tidak ada alasan bagi pemerintah untuk menunda realisasi anggaran pendidikan 20% dari APBN dan APBD.
Dari landasan hukum tersebut, maka jangankan RUU BHP yang jelas-jelas belum menjadi Undang-Undang, produk yang sudah menjadi Undang-Undang saja akan gugur dengan sendirinya oleh konstitusi negara UUD 1945. Oleh karenanya, praktek BHP merupakan praktek haram pendidikan kita. Ia lahir dari semangat perselingkuhan dengan kapitalisme global. Dengan merealisasikan 20% anggaran pendidikan sesuai dengan amanat amandemen UUD 1945, maka praktek privatisasi dan komersialisasi tidak perlu ada. Oleh karenanya, menolak merealisasikan amanat tersebut, sama saja melawan konstitusi negara, serta dapat dianggap subversif. Maka dari itu, tidak ada alasan rasional untuk kita melegalkan privatisasi pendidikan (BHP), apalagi-oleh salah satu pembatu rektor- meminta (lembaga) mahasiswa membuat konsep BHP versi mahasiswa. Satu-satunya yang harus kita lakukan adalah menolak BHP di negeri ini.

"ruang kecil menumpahkan ide-ide yang berserakan".
Pemateri Adi Sasono dari ICMI saat membawakan materi diskusi
Acara Simposium nasional BEM Se-Indonesia (SI) yang bertempat di UNJ tahun 2006
Reuni dengan aktivis unhas dari generasi ke generasi yang bertempat di BAPELKES Antang, Makassar, Desember 2005. Acara ini merupakan rangkaian dari acara pengkaderan mahasiswa Unhas setingkat Advance Training (LK III) yang diselenggarakan oleh Keluarga Mahasiswa Unhas
Return to top of page
Copyright © 2010 | Platinum Theme Converted into Blogger Template by HackTutors
Previous Article