Golkar Pasca Rapimnas



Oleh: Aryanto Abidin


Teka-teki kemana arah atau sikap Partai Golkar, akhirnya terjawab sudah. Partai Golkar memutuskan untuk tidak bersama SBY lagi. Setelah sebelumnya partai Golkar gagal menemukan titik temu dengan partai Demokrat. Kubu Demokrat menolak adanya cawapres tunggal yang akan mendampingi SBY. Rapimnas Partai Golkar (23/4) akhirnya mengusung JK sebagai capres. Keputusan tersebut diambil setelah mayoritas DPD I mendukung JK sebagai capres. Keputusan partai golkar, jelas mengubah konstelasi politik di tubuh partai-partai pengusung capres. JK pun merapat di kubu megawati. Pertanyaan awamnya adalah siapa yang akan menempati posisi cawapres jika keduanya berkoalisi? Rasa-rasanya pertanyaan itu terlalu dini untuk diajukan. Mengingat kedua partai tersebut sama-sama ngotot mengusung ketua umum masing-masing sebagai capres.

Secara historis, kedua partai ini sulit untuk membangun koalisi, mengingat kedua partai ini sering “berhadap-hadapan” semenjak orde baru. Apalagi PDIP merupakan partai yang teraniaya semasa orde baru. Realitas politik kekinianpun mendeskripsikan, bahwa PDIP adalah partai oposisi terhadap pemerintahan. Sedangkan Golkar memilih bergabung di pemerintahan. Golkar juga tidak terbiasa berada di luar kekuasaan. Lalu, siapakah yang akan mendampingi JK ataupun Megawati setelah keduanya gagal menemukan kesepakatan?

Bola Panas
Anjloknya perolehan suara Golkar dan PDIP pada pemilu legislatif 9 April lalu, membuat mereka harus memutar otak untuk bisa mengsung capres. Syarat minimal untuk mengusung capres yakni 25 persen perolehan suara pemilu legislatif. Jika tidak, mereka tidak bisa mengusung capres yang diinginkan. Dalam kalkulasi politik mau tidak mau, rumus politik yang harus dipakai adalah membangun koalisi dengan partai lain. Terutama dengan partai papan tengah (PKS, PAN, dan PKB) dan tiga partai terakhir dari sembilan partai yang lolos parliamentary threshold sekaligus kubu Megawati (PPP, Gerindra dan Hanura). Peta koalisi sebenarnya sudah mulai terbaca sejak satu bulan sebelum pemilu legislatif. Komunikasi politik antar partai politik semakin gencar dilakukan. Klimaksnya adalah setelah partai demokrat menunjukan konsistensi perolehan suara legislatif pada urutan teratas.

Manuver politik Golkar merapat ke PDIP, nyatanya kurang mendapat respon dari kubu Teuku Umar. Tanda-tanda PDIP sulit menerima kembali Golkar, sebenarnya sudah terbaca. Sinyal tersebut terbaca secara jelas, saat pertemuan JK dan Megawati pasca repimnas Golkar, di kediaman Megawati. Pada pertemuan itu, dikotomi partai oposisi dan partai pemerintah, menjadi sinyal penolakan oleh kubu Megawati. Sikap Golkar yang dianggap plin plan juga semakin menguatkan sinyal penolakan dari kubu Megawati. Kini posisi golkar semakin terjepit. Bola panas sekarang ada pada megawati. Siapakah tokoh yang akan digandeng oleh kubu megawati untuk jadi cawapres. Tokoh yang paling ideal untuk mendampingi Megawati adalah Prabowo. Prabowo lebih dapat diterima oleh semua kubu. Itu seandainya jika skenario Megawati jadi capres.

PDIP dan Megawati juga harus belajar dari pengalaman pemilu 2004 lalu. Walaupun pada saat itu posisi Megawati sebagai incumbent, akan tetapi perolehan suara PDIP menurun di urutan kedua di bawah golkar. Klimaksnya adalah megawati terjungkal dari kursi kepresidenan. Megawati dikalahkan oleh SBY, sekaligus representasi partai pendatang baru, partai Demokrat. Rumitnya mencari titik temu antara Megawati dan Prabowo tentang siapa yang akan menajadi capres, membuat keduanya masih bertahan dengan sikapnya yakni sama-sama ingin maju sebagai capres.

Dari segi elektabilitas, Prabowo lebih tinggi dibandingkan dengan Megawati. Tapi jangan lupa, suara Gerindra hanya lebih kurang 5 persen suara legislatif. Itu artinya prabowo harus merapat ke partai lain agar bisa memenuhi syarat minimal pecapresan yakni 25 persen perolehan suara partai. Prabowo bisa maju sebagai capres jika terjadi skenario baru. Bisa jadi Megawati mendorong putrinya untuk mendampingi Prabowo. Akan tetapi Prabowo dan Gerindra harus dapat “dikendalikan” oleh PDIP. Jika seandainya Megawati tetap maju sebagai capres, maka Prabowo harus tau diri dan menerima menjadi pendamping Megawati.

Faktor Prabowo

Prabowo dan Gerindra menjadi sosok dan partai yang fenomenal. Betapa tidak, prabowo merupakan tokoh militer yang cerdas dan lincah dalam membangun komunikasi politik dengan siapapun. Ia sangat lincah membangun komunikasi politik dengan sahabat-sahabat politiknya. Ia pun tak segan membangun komunikasi dengan lawan politiknya seperti Wiranto. Kebuntuan dan kebekuan hubungan antara Prabowo dan Wiranto sudah mucul sejak 1998, terkait dengan adanya isu kudeta oleh Prabowo. Tapi kebekuan itu mencair saat mereka berada dalam kubu yang sama untuk menjegal SBY pada pemilu kali ini.

Setelah Megawati menunjukan sinyal untuk tidak menerima kembali JK masuk dalam blok Teuku Umar, Prabowo rajin menyambangi JK. Bahkan muncul skenario yang ingin menyandingkan JK-Prabowo. Pertanyaan besar yang harus dijawab oleh Prabowo sekarang adalah, kemanakah hendak ia melabuhkan diri? Melihat fenomena ini, sepertinya Prabowo sedang menghitung-hitung peluang, baik sebagai capres maupun cawapres. Artinya Prabowo harus menghitung peta kekuatan partai besar yang mapan serta berpengalaman yakni Golkar dan PDIP.

Tugas terberat Golkar sekarang adalah mencari siapa yang tepat mendampingi JK sebagai cawapres. Artinya, Golkar juga harus menggaet partai lain sebagai sekutu koalisi agar dapat memenuhi syarat minimal pencapresan. Saat ini, tinggal PAN yang belum menentukan sikap kemana kendak melabuhkan hatinya. Sementara ini PPP sudah menyatakan sikapnya untuk bersama kubu Megawati. Sementara Gerindra belum secara tegas akan berlabuh kemama. Bisa jadi Gerindra menunggu sikap resmi PAN. Jika Golkar gagal menggalang koalisi dengan partai lain, maka Golkar akan kesulitan mengsung JK sebagai capres. Jika demikian, maka Golkar akan menjadi terasing di tengah hingar bingar politik 2009.

Aryanto Abidin
Wakil Presiden BEM Unhas 2006-2007

[Read More...]


Partai Golkar di Persimpangan



Oleh: Aryanto Abidin

Hasil pemilu legislatif versi (semua) lembaga survey, menempatkan Partai Demokrat di urutan teratas perolehan sementara suara nasional. Partai Demokrat memperoleh suara 20,34 persen, di bandingkan dengan partai besar seperti Partai Golkar dan PDIP masing-masing dengan 14,85 dan 14,07 persen (Tribun Timur, 12/04). Hasil yang sama juga ditunjukan oleh hasil perhitungan sementara KPU, Partai Demokrat memperoleh suara 20,23 persen, Partai Golkar dan PDIP masing-masing dengan 14,42 dan 14,34 persen (real count KPU, 13/04). Ini mengejutkan bagi lawan politik Partai Demokrat, sekaligus surprise bagi Partai Demokrat. Partai Demokrat yang pada pemilu 2004 lalu hanya memperoleh 7 persen atau masuk lima besar urutan partai yakni peringkat ke 5. Ini artinya, Partai Demokrat mengalami peningkatan suara yang signifikan, yakni sekitar 300 persen.

Hal ini melejitkan kepercayaan diri Partai Demokrat, yang jauh hari sebelumnya mengusung SBY sebagai capres Partai Demokrat. Hal yang sebaliknya justru terjadi di kubu capres lainnya. Sebut saja kubu Golden Triangel (Partai Golkar, PDIP, dan PPP), Gerindra, dan Hanura “buru-buru” melakukan konsolidasi. Walaupun mereka tidak secara terang-terangan menyebutkan kemana arah koalisi akan dibawa. Akan tetapi, tema besar yang diendus ke publik adalah ketidak beresan data pemilih. Apakah ini adalah indikasi untuk melakukan counter terhadap hasil pemilu? Entahlah! Saya rasa, terlalu dini untuk menyimpulkan seperti itu.

Ketidak Pastian

Melejitnya suara Partai Demokrat, telah memporak porandakan skenario partai-partai besar. Sebut saja partai Golkar dan PDIP. Partai golkar kini harus berpikir ulang untuk mengajukan JK sebagai capres. PDIP pun demikan, ia harus mencari sekutu koalisi agar dapat mencalonkan Megawati sebagai capres. Sebelum pemilu legislatif, kedua partai ini melakukan penjajakan satu sama lain. Klimaksnya adalah terbentuknya blok koalisi dengan nama Golden Triangel dan Golden Bridge. Koalisi Golden Triangel dimotori oleh tiga partai yakni Partai Golkar, PDIP, PPP dan Gerindra yang menyusul belakangan. Kubu Partai Demokrat pun tak mau kalah. Kolaisi Golden Bridge mencuat ke publik yang dimotori oleh Partai Demokrat, PKS dan PKB.
Petaka ketidak pastian Partai Golkar bermula dari rasa ketersinggungan terhadap pernyataan pengurus DPP Partai Demokrat, Ahmad Mubarok. Ahmad Mubarok menyatakan bahwa perolehan suara golkar hanya 2,5 persen. Meskipun pada akhirnya Ahmad Mubarok “mati-matian” membantah maksud dari pernyatannya itu. SBY selaku ketua Dewan Pembina Partai Demokrat pun tak tinggal diam. SBY menegur kadernya tersebut.

Merasa dilecehkan, Partai Golkar pun memunculkan JK sebagai Capres sekaligus sebagai ikon partai berlambang pohon beringin tersebut. JK mendapat dukungan 28 dari 33 Dewan Pimpinan Daerah Tingkat I (DPD I) untuk diusung sebagai Capres. Saling “gertak” di media massa pun menjadi sengit antara Partai Golkar dan Partai Demokrat. Sebut saja klaim keberhasilan SBY dan JK menjadi iklan kampanye partai masing-masing. Bukan tanpa maksud. Iklan tersebut untuk meyakinkan kepada publik, bahwa salah satu dari mereka adalah yang paling baik. Antiklimas pertarungan Partai Golkar dan Partai Demokrat adalah adanya keinginan sebahagian kader partai Golkar untuk menduetkan kembali SBY-JK. Hal ini dilakukan karena menurut hasil perhitungan sementara, suara partai Golkar tidak signifikan untuk mengusung JK sebagai capres.

Meskipun pada akhirnya Partai Golkar harus mempertaruhkan wibawa partai di hadapan PDIP dan PPP yang menjadi sekutu koalisinya. Di tengah ketidak pastian tersebut, Partai Gokar semakin bimbang, hendak kemana koalisi akan di bawa? Sementara di internal partai Golkar sendiri tidak ada kebulatan tekad untuk mendorong JK sebagai cawapres. Apakah ini adalah pertanda posisi JK di partai Golkar sedang digoyang? Entahlah! Yang jelas, JK tidak lagi sebagai alternatif tunggal yang ingin ditawarkan kepada SBY.

Menimbang arah Koalisi Partai Golkar


Perolehan suara Partai Golkar yang tidak signifikan, membuat partai ini harus berpikir ulang untuk mencalonkan JK sebagai capres. Setidaknya itualah alasan realistis partai Golkar berganti haluan. Disamping itu, alasan lainnya adalah golkar tidak punya pengalaman oposisi terhadap struktur kekuasaan. Oleh karena itu, mau tidak mau partai Golkar lebih condong untuk meneruskan koalisi dengan partai Demokrat. Lalu skenario apa yang sedang dirancang oleh Partai Golkar untuk memuluskan koalisi dengan partai demokrat? Yang jelas, JK bukan lagi calon tunggal untuk disandingkan dengan SBY. Ketokohan Akbar Tanjung di Partai Golkar tidak bisa dipandang sebelah mata. Menguatnya gerbong Akbar, membuat partai ini terbelah dalam mengusung figur yang akan disodorkan kepada SBY. Hal ini mengharuskan Partai Golkar untuk berpikir lebih keras lagi. Setidaknya ada empat poin yang menjadi opsi dalam tubuh partai Golkar (Kompas, 17 April).

Pertama, melanjutkan duet SBY-JK. Opsi menduetkan kembali SBY-JK merupakan opsi yang menguat di tubuh partai golkar. Alasannya adalah JK punya pengalaman kerja sama dengan SBY. Antara SBY-JK telah terbangun chemistry yang kuat untuk menjalankan roda pemerintahan lima tahun ke depan. Jadi, SBY tidak perlu repot-repot lagi membangun kesepahaman dengan calon pendampingnya ke depan. JK juga diuntungkan secara geopolitik, karena merupakan representase dari luar jawa. Tapi segala sesuatu nya bisa saja berubah, mengingat kartu truf nya ada pada Partai Demokrat dan SBY. Jadi, apapun skenarionya, SBY lah bintangnnya.

Kedua, partai Golkar tetap pada pendirian awal, yakni mengusung JK sebagi capres. Opsi ini merupakan opsi yang tidak populis. Setidaknya itu adalah alasan besar bagi sebahagian besar pengurus DPP partai Golkar. Mengusung JK sebagai capres itu adalah bunuh diri, mengingat partai Golkar tidak terbiasa berada di luar kekuasaan. Maka pilihannya tentu pragmatis, yakni bergabung dengan Partai Demokrat. Walaupun pada awalnya seluruh DPD I bersuara bulat mengusung JK sebagai capres. Tapi kenyataannya berkata lain, suara partai Golkar pada pemilu legislatif melorot.

Ketiga, menolak duet SBY-JK tetapi mengusulkan tokoh golkar lain menjadi pendamping SBY. Opsi ini menguat jika saja SBY menolak berduet kembali dengan JK. Opsi ini memunculkan peluang bagi tokoh-tokoh Partai Golkar seperti Sultan Hamengkubuwono, Surya Paloh, Agung Laksono, Fadel Muhammad dan Akbar Tanjung. Sultan kemungkinan akan sulit diusung menjadi cawapres, karena ia ngotot maju sebagai capres. Sultan juga adalah tokoh golkar yang sering melawan arus. Secara geopolitik, SBY sangat riskan jika disandingkan dengan Sultan. Mengingat SBY juga berasal dari Jawa. Maka pilihan amannya adalah tokoh Golkar yang berasal dari luar Jawa. Hal ini menguntungkan tokoh Golkar yang berasal dari luar jawa, yaitu Fadel Muhammad, Surya paloh dan Akbar Tanjung.

Bila kita menimbang peluang Surya Paloh untuk diusung sebagai pasangan SBY, kemungkinannya sangat kecil. Mengingat Surya Paloh adalah sekutu JK pada Munas Golkar di Bali tahun 2004 lalu. Di samping itu juga, Surya paloh adalah ketua dewan penasehat Partai Golkar. Maka ia akan lebih rela jika JK diusung sebagai pasangannya SBY.

Jika kita menimbang Fadel Muhammad, kemungkinan peluang untuk diusung sebagai pasangan SBY sangat terbuka. Hanya saja Fadel belum bisa memegang suara mayoritas DPD I. tapi semua bisa terjadi jika DPD melihat prestasi Fadel membangun Gorontalo. Fadel juga tidak akan mungkin melawan JK yang punya andil dalam karir bisnisnya. Satu-satunya tokoh golkar yang paling berpeluang selain JK adalah Akbar Tanjung. Secara geopolitik ia layak bersanding dengan SBY. Akbar adalah tokoh yang mengakar di kalangan tokoh muda golkar. Akbar adalah tokoh golkar yang memasang badan ketika Golkar di gebuki pasca reformasi. Walaupun posisi golkar pada pemilu 1999 pada urutan kedua dengan perolehan suara lebih dari 40 persen. Pada pemilu 2004, Golkar kembali mengambil alih perolehan suara pemilu legislatif yakni berada pada urutan pertama. Dibandingkan dengan kepemimpinan JK, Golkar lebih berprestasi pada saat kepemimpinan Akbar.

Keempat, berkoalisi dengan PDIP, jika Demokrat menolak berkoalisi. Opsi ini menjadi opsi terakhir bagi golkar. Opsi ini bisa saja terjadi, mengingat golkar harus punya kanalisasi untuk merangkak ke pusaran kekuasaan. Pada opsi ini, posisi golkar di bawah bayang-bayang PDIP. Mau tidak mau, golkar mengikuti “permaianan” PDIP. Suasana ketidak pastian di tubuh akan diputuskan di rapimnas partai Golkar. Kemana arah koalisi. Apakah golkar akan memilih salah satu skenariao tesebut, hanya internal golkarlah yang mampu menjawabnya.

gambar dari : inilah.com
Oleh: Aryanto Abidin
Wakil Presiden BEM Unhas periode 2006-2007
[Read More...]


Popular Posts

Popular Posts Widget
 

Categories

Recent Comments

Stay Connected

http://www.text-link-ads.com/xml_blogger.php?inventory_key=L6TKZHMZ15BNNYYQULG7&feed;=2

About Me

My Photo
aryantoabidin
Welcome to my blog. Aryanto Abidin. That is my original name, while cyber name for this blog. I just ordinary people who are learning to read and understand the existence and I think about indonesiaan.
View my complete profile

Popular Posts

Return to top of page Copyright © 2010 | Platinum Theme Converted into Blogger Template by HackTutors