Malu Aku Bicara Komitmen



Malu Aku Bicara Komitmen

Oleh: Aryanto Abidin


Beberapa hari terakhir ini, saya begitu resah. Resah dengan segala yang membuat saya resah. Bahkan hampir-hampir Tuhan pun saya abaikan. Sepertinya, untuk permasalahan ini, saya harus istighfar sebanyak-banyaknya (maafkan aku Tuhan. Ijinkan aku mencintaimu sekali lagi). Keresahan itu selalu mengganggu pikiran dan jiwa saya. Resah dengan negeri ini, resah dengan manusia indonesia, resah dengan perempuan indonesia, resah dengan penguasa dan pejabat di negeri ini. Resah dengan mahasiswa indonesia, resah dengan prilaku primitif mahasiswa makassasr, resah dengan kampusku yang nir-makna dan nir-nilai, dimana idealisme dipecundangi. Ruang dialog tertutup rapat, dosen yang arogan dan masih banyak kebejatan-kebejatan lain yang lahir dari kampus kita. Maka jangan heran, ada mahasiswa yang mengaku aktivis, padahal aktivis karbitan. Ada juga yang mengaku aktivis, membela yang tertindas tapi uang bencana Aceh pun dibawa kabur. Atau mengaku aktivis untuk menggombal si mahasiswi. Ada lagi yang lebih hancur, ada aktivis yang bicara serba ideal kalo dalam forum. Eh, setelah diluar forum berperilaku bejat. Alih-alih menanamkan idealisme pada adik-adik angkatannya, eh, ternyata ujung-ujungnya minta alamat dan nomor ponsel/telepon (bersyukurlah anda tidak menjadi korbannya). Makanya kamu harus hati-hati dengan senior yang seperti ini. Mungkin inilah gambaran dari produk kampus yang bejat dan nir-makna serta jauh nilai-nilai akademis dan moralitas. Apakah ini bentuk komitmen yang tercederai dari sebuah istitusi pendidikan?

Ada hal yang saya lupa sebutkan. Tentu saja, saya harus resah dengan diri sendiri. Resah dengan masa depan saya, resah dengan ilmu yang selama ini saya tekuni. Saya selalu dikejar-kejar dan diteror oleh pertanyan-pertanyaan, akankah saya mampu mempertanggung jawabkannya ketika harus bersentuhan dengan masyarakat? Saya juga resah dengan status kemahasiswaan saya. Akankah kita tetap eksis setelah tidak lagi menjadi penguasa (baca:mahasiswa) di kampus? Mampukah kita melakukan perubahan sosial dalam masyarakat kita? Fenomena post power syndrome (baca:sebuah ketakutan atau kecemasan setelah tidak lagi berkuasa) merupakan pil pahit yang membunuh asa dan semangat saya (mungkin juga anda). Akankah ini adalah gejala runtuhnya bangunan idealisme yang saya bangun terhadap pilihan saya, perlahan mulai terkikis?. Sepertinya, untuk urusan yang satu ini, saya tidak akan membiarkan kepada waktu utuk menjawab atau menuntaskan semua ini.

Keresahan saya semakin memuncak. Awal Juli lalu, ponsel saya disesaki oleh missed call nomor misterius. Tukang missed call gelap ini mengusik saya hampir setiap hari dalam seminggu. Padahal saya tidak pernah membangun ruang konflik dengan siapapun. Atau memberikan ruang untuk tumbuhnya apa yang disebut dengan Virus Merah Maroon (VMM) (ini usulan baru untuk dijadikan sebuah terminologi). Hingga sampai-sampai si tukang missed call tersebut berani-beraninya mengunkapkan-lewat SMS- bahwa ia fall in love ke saya (“lho kok saya jadi bahas yang ginian sih. ga mutu, tau nggak?”). Apa ini nggak gila? Peristiwa ini membuat saya harus merenung dan banyak introspeksi diri. Bahkan berkeping tanya selalu memburu nalar saya. Apa penampilan saya kurang meyakinkan untuk disebut sebagai ustadz? Hingga si tukang missed call tadi berani-beraninya menyatakan fall in love ke saya. Jenggot sudah ada, titik hitam di jidat ada juga. Lalu kurang apalagi dari saya? Oh, saya tahu!!. Mungkin celana saya kurang menggantung. Atau baju koko tidak menempel di badan saya. Mungkikah ini adalah wujud komitmen yang terrenggut? Hingga untuk menegaskan identitas saja begitu separuh napas dalam mempraksiskannya. Sayapun berkesimpulan, ternyata untuk menciptakan identitas tidak cukup dengan simbol.

O ya, saya hampir lupa. Ada lagi yang membuat saya resah. Resah dengan sebuah komunitas. Komunitas yang selama ini tempat saya mencurahkan waktu, tenaga dan pikiran saya. Sebuah kominitas yang begitu komitmen menegakan kalimat ilahiyah dan selalu berpegang teguh pada sunnah Rasul. Komunitas tersebut adalah komunitas tarbiyyah.. Demikianlah komunitas yang saya maksud. Doktrin-doktrin dakwah begitu kental yang selalu mewarnai orang-orang yang tergaung dalam komunitas ini. Ukhuwah yang juga merupakan rukun ke sembilan dalam rukun bai’at menjadi perekatnya. Komitmen dan konsisten menjadi kata sakti yang bertebaran di setiap rapat-rapat. Kadang-kadang saya bertanya, seperti apa sih komitmen yang kita maksud? Hingga kita begitu mudah mengobralnya tanpa mepertimbangankannya masak-masak. Apa ini yang disebut dengan Asbun (baca: asal bunyi), “tong kosong cantik bunyinya” (meminjam judul tulisan salah seorang akhwat). Eh, salah ya?. Tong kosong nyaring bunyinya. Yang ini yang betul.

Bagi saya, kata komitmen adalah kata yang sakral. Ia adalah totalitas. Lalu pertanyaannya kemudian, dimana letak sakralnya? Seperti yang saya sebutkan tadi, letak sakralnya sebuah komitmen adalah pada totalitasnya. Ketika kita berbicara totalitas, maka ada beberapa variabel yang harus kita pegang erat-erat. Beberapa variabel tersebut adalah ikhlas, pengorbanan, amal atau kerja nyata, ketaatan, dan dedikasi. Ketika kita melafalkan tentang komitmen, maka kitapun harus melakoni variabel di atas. Tentu, kita juga harus siap dengan segala konsekwensi yang akan muncul di kemudian hari. Oleh karenanya, setiap pilihan sadar kita adalah totalitas. Karna, kalau tidak seperti itu, kita akan ditertawakan oleh peradaban. Sehingga diharapkan nantinya, tidak ada lagi wilayah yang abu-abu dalam menjalaninnya.

Kadang kita tidak pernah berpikir bahwa amanah itu akan jatuh pada pundak kita. Apalagi kalau sudah bersentuhan dengan doktrin dakwah. Maka, seribu satu alasanpun yang diungkapkan menjadi gugur tatkala kepentingan dakwah begitu menginginkan kita. Kenapa demikian? Karena dalam logika jamaah, satu-satunya yang berharga adalah kadernya atau anggotanya. Tapi ingat!, dakwah tak kenal henti, ada dan tidak adanya kita di dalamnya. Kalimat itu begitu nyaring di telinga saya. Menampar seisi jiwa, untuk tersadarkan kembali dan mengingat masa-masa manis bersama iman dan ruhiyyah yang kokoh. Bahkan saya harus berfikir ulang untuk mencoba menghianatinya (baca:dakwah). Namun, saya harus menggugat ulang kepada mereka yang menggunakan doktrin tersebut hanya ingin dibilang sebagai militan atau pejuang dakwah. Sementara dalam tataran pelaksanaannya bernyali ciut, bermental krupuk. Maka, jangan pernah menolak amanah dakwah itu. Menyakitkan memang!, disaat kita sedang bergelimangan amanah, sementara di sisi lain mereka yang menyebut dirinya juga “aktivis dakwah” begitu terlena dengan rutinitas mereka. Maka sayapun bertanya-tanya, apa iya kita akan mampu berkomitmen seperti itu?. Saya kadang ragu dengan itu semua. Indikasinya jelas. Menolak amanah salah satu contohnya. Atau jangan-jangan doktrin tersebut hanya pepesan kosong. Maka, saya mencoba meminjam istilah teman saya “nggak usah banyak ngomong Bos!”. Kalau memang anda punya komitmen, maka saya mencoba memenggal kalimat dalam sebuah iklan rokok, mana ekspresi lu?.

Kemerdekaan berpikir, melahirkan tulisan ini. Ya Allah jika jalan dakwah ini begitu panjang, maka berikan kami kekuatan untuk sampai pada jalan tersebut.Ya Allah, jika beban dakwah ini begitu berat,

maka kuatkanlah punggung kami untuk menerima beban tersebut. Jangan bersedih anak muda. Biarkan Rabb-mu saja yang menghapus peluh dan segala keluh kesahmu mu.t




Responses

2 Respones to "Malu Aku Bicara Komitmen"

Anonymous said...

komitmen itu bukan untuk dibicarakan, tapi untuk dimaterialisasikan. karena sepertinya banyak orang yang mulai terjangkit gejala amnesia kalo bicara komitmen. pun para aktivis da'wah. nggak heran kalo kemudian Virus Merah Hati, Jambu dan Maroon bertebaran diantara sesama aktivis. jilbab besar plus jubah sampai menyapu lantai, atau jenggot panjang sampai sedada plus item2 di dahi bukan garansi sebuah komitmen. yah..komitmen memang terlalu abstrak. tidak ada standar baku untuk menentukan kadar atau kualitas komitmen seseorang. benar juga apa kata teman anda "nggak usah banyak ngomong bos" daripada jadi tong kosong berbunyi cantik...eh berbunyi nyaring. mendingan sekarang "tunjukkin rasa loe". supaya "hatta laa takuuna fitnatun wa yakuunad diinu lillaahi bukan hanya menjadi slogan saja.Wallaahu a'lam


10/3/06, 11:34 AM
Anonymous said...

komitmen itu bukan untuk dibicarakan, tapi untuk dimaterialisasikan.karena banyak orang yang sepertinya kena gejala amnesia kalo bicara komitmen. yah.. komitmen memang abstrak. tidak ada standar baku untuk mengukur kadar atau kualitas komitmen seseorang. jilbab lebar yang hampir menyapu lantai atau celana congklang berjidat hitam bukan garansi akan komitmen seseorang. tidak heran kalo virus-virus dari yang merah jambu, merah maroon, atau merah-merah (rada marxis) bertebaran dimana-mana. memang benar komentar teman anda "nggak usah banyak ngomong bos". sekarang saatnya "tunjukkin rasa loe". biar kita gak dibilang "tong kosong berbunyi cantik", eh maksudnya berbunyi nyaring. sehingga "hatta laa takuuna fitnatun wa yakuunad diinu lillaah" bukan hanya menjadi slogan saja. wallaahu a'lam


10/4/06, 9:31 AM

Post a Comment

Popular Posts

Popular Posts Widget
 

Categories

Recent Comments

Stay Connected

http://www.text-link-ads.com/xml_blogger.php?inventory_key=L6TKZHMZ15BNNYYQULG7&feed;=2

About Me

My Photo
aryantoabidin
Welcome to my blog. Aryanto Abidin. That is my original name, while cyber name for this blog. I just ordinary people who are learning to read and understand the existence and I think about indonesiaan.
View my complete profile

Popular Posts

Return to top of page Copyright © 2010 | Platinum Theme Converted into Blogger Template by HackTutors