Oleh: Aryanto Abidin
Teka-teki kemana arah atau sikap Partai Golkar, akhirnya terjawab sudah. Partai Golkar memutuskan untuk tidak bersama SBY lagi. Setelah sebelumnya partai Golkar gagal menemukan titik temu dengan partai Demokrat. Kubu Demokrat menolak adanya cawapres tunggal yang akan mendampingi SBY. Rapimnas Partai Golkar (23/4) akhirnya mengusung JK sebagai capres. Keputusan tersebut diambil setelah mayoritas DPD I mendukung JK sebagai capres. Keputusan partai golkar, jelas mengubah konstelasi politik di tubuh partai-partai pengusung capres. JK pun merapat di kubu megawati. Pertanyaan awamnya adalah siapa yang akan menempati posisi cawapres jika keduanya berkoalisi? Rasa-rasanya pertanyaan itu terlalu dini untuk diajukan. Mengingat kedua partai tersebut sama-sama ngotot mengusung ketua umum masing-masing sebagai capres.
Secara historis, kedua partai ini sulit untuk membangun koalisi, mengingat kedua partai ini sering “berhadap-hadapan” semenjak orde baru. Apalagi PDIP merupakan partai yang teraniaya semasa orde baru. Realitas politik kekinianpun mendeskripsikan, bahwa PDIP adalah partai oposisi terhadap pemerintahan. Sedangkan Golkar memilih bergabung di pemerintahan. Golkar juga tidak terbiasa berada di luar kekuasaan. Lalu, siapakah yang akan mendampingi JK ataupun Megawati setelah keduanya gagal menemukan kesepakatan?
Teka-teki kemana arah atau sikap Partai Golkar, akhirnya terjawab sudah. Partai Golkar memutuskan untuk tidak bersama SBY lagi. Setelah sebelumnya partai Golkar gagal menemukan titik temu dengan partai Demokrat. Kubu Demokrat menolak adanya cawapres tunggal yang akan mendampingi SBY. Rapimnas Partai Golkar (23/4) akhirnya mengusung JK sebagai capres. Keputusan tersebut diambil setelah mayoritas DPD I mendukung JK sebagai capres. Keputusan partai golkar, jelas mengubah konstelasi politik di tubuh partai-partai pengusung capres. JK pun merapat di kubu megawati. Pertanyaan awamnya adalah siapa yang akan menempati posisi cawapres jika keduanya berkoalisi? Rasa-rasanya pertanyaan itu terlalu dini untuk diajukan. Mengingat kedua partai tersebut sama-sama ngotot mengusung ketua umum masing-masing sebagai capres.
Secara historis, kedua partai ini sulit untuk membangun koalisi, mengingat kedua partai ini sering “berhadap-hadapan” semenjak orde baru. Apalagi PDIP merupakan partai yang teraniaya semasa orde baru. Realitas politik kekinianpun mendeskripsikan, bahwa PDIP adalah partai oposisi terhadap pemerintahan. Sedangkan Golkar memilih bergabung di pemerintahan. Golkar juga tidak terbiasa berada di luar kekuasaan. Lalu, siapakah yang akan mendampingi JK ataupun Megawati setelah keduanya gagal menemukan kesepakatan?
Bola Panas
Anjloknya perolehan suara Golkar dan PDIP pada pemilu legislatif 9 April lalu, membuat mereka harus memutar otak untuk bisa mengsung capres. Syarat minimal untuk mengusung capres yakni 25 persen perolehan suara pemilu legislatif. Jika tidak, mereka tidak bisa mengusung capres yang diinginkan. Dalam kalkulasi politik mau tidak mau, rumus politik yang harus dipakai adalah membangun koalisi dengan partai lain. Terutama dengan partai papan tengah (PKS, PAN, dan PKB) dan tiga partai terakhir dari sembilan partai yang lolos parliamentary threshold sekaligus kubu Megawati (PPP, Gerindra dan Hanura). Peta koalisi sebenarnya sudah mulai terbaca sejak satu bulan sebelum pemilu legislatif. Komunikasi politik antar partai politik semakin gencar dilakukan. Klimaksnya adalah setelah partai demokrat menunjukan konsistensi perolehan suara legislatif pada urutan teratas.
Manuver politik Golkar merapat ke PDIP, nyatanya kurang mendapat respon dari kubu Teuku Umar. Tanda-tanda PDIP sulit menerima kembali Golkar, sebenarnya sudah terbaca. Sinyal tersebut terbaca secara jelas, saat pertemuan JK dan Megawati pasca repimnas Golkar, di kediaman Megawati. Pada pertemuan itu, dikotomi partai oposisi dan partai pemerintah, menjadi sinyal penolakan oleh kubu Megawati. Sikap Golkar yang dianggap plin plan juga semakin menguatkan sinyal penolakan dari kubu Megawati. Kini posisi golkar semakin terjepit. Bola panas sekarang ada pada megawati. Siapakah tokoh yang akan digandeng oleh kubu megawati untuk jadi cawapres. Tokoh yang paling ideal untuk mendampingi Megawati adalah Prabowo. Prabowo lebih dapat diterima oleh semua kubu. Itu seandainya jika skenario Megawati jadi capres.
PDIP dan Megawati juga harus belajar dari pengalaman pemilu 2004 lalu. Walaupun pada saat itu posisi Megawati sebagai incumbent, akan tetapi perolehan suara PDIP menurun di urutan kedua di bawah golkar. Klimaksnya adalah megawati terjungkal dari kursi kepresidenan. Megawati dikalahkan oleh SBY, sekaligus representasi partai pendatang baru, partai Demokrat. Rumitnya mencari titik temu antara Megawati dan Prabowo tentang siapa yang akan menajadi capres, membuat keduanya masih bertahan dengan sikapnya yakni sama-sama ingin maju sebagai capres.
Dari segi elektabilitas, Prabowo lebih tinggi dibandingkan dengan Megawati. Tapi jangan lupa, suara Gerindra hanya lebih kurang 5 persen suara legislatif. Itu artinya prabowo harus merapat ke partai lain agar bisa memenuhi syarat minimal pecapresan yakni 25 persen perolehan suara partai. Prabowo bisa maju sebagai capres jika terjadi skenario baru. Bisa jadi Megawati mendorong putrinya untuk mendampingi Prabowo. Akan tetapi Prabowo dan Gerindra harus dapat “dikendalikan” oleh PDIP. Jika seandainya Megawati tetap maju sebagai capres, maka Prabowo harus tau diri dan menerima menjadi pendamping Megawati.
Faktor Prabowo
Prabowo dan Gerindra menjadi sosok dan partai yang fenomenal. Betapa tidak, prabowo merupakan tokoh militer yang cerdas dan lincah dalam membangun komunikasi politik dengan siapapun. Ia sangat lincah membangun komunikasi politik dengan sahabat-sahabat politiknya. Ia pun tak segan membangun komunikasi dengan lawan politiknya seperti Wiranto. Kebuntuan dan kebekuan hubungan antara Prabowo dan Wiranto sudah mucul sejak 1998, terkait dengan adanya isu kudeta oleh Prabowo. Tapi kebekuan itu mencair saat mereka berada dalam kubu yang sama untuk menjegal SBY pada pemilu kali ini.
Setelah Megawati menunjukan sinyal untuk tidak menerima kembali JK masuk dalam blok Teuku Umar, Prabowo rajin menyambangi JK. Bahkan muncul skenario yang ingin menyandingkan JK-Prabowo. Pertanyaan besar yang harus dijawab oleh Prabowo sekarang adalah, kemanakah hendak ia melabuhkan diri? Melihat fenomena ini, sepertinya Prabowo sedang menghitung-hitung peluang, baik sebagai capres maupun cawapres. Artinya Prabowo harus menghitung peta kekuatan partai besar yang mapan serta berpengalaman yakni Golkar dan PDIP.
Tugas terberat Golkar sekarang adalah mencari siapa yang tepat mendampingi JK sebagai cawapres. Artinya, Golkar juga harus menggaet partai lain sebagai sekutu koalisi agar dapat memenuhi syarat minimal pencapresan. Saat ini, tinggal PAN yang belum menentukan sikap kemana kendak melabuhkan hatinya. Sementara ini PPP sudah menyatakan sikapnya untuk bersama kubu Megawati. Sementara Gerindra belum secara tegas akan berlabuh kemama. Bisa jadi Gerindra menunggu sikap resmi PAN. Jika Golkar gagal menggalang koalisi dengan partai lain, maka Golkar akan kesulitan mengsung JK sebagai capres. Jika demikian, maka Golkar akan menjadi terasing di tengah hingar bingar politik 2009.
Aryanto Abidin
Wakil Presiden BEM Unhas 2006-2007
No comments:
Post a Comment