Capres dan Neolib



Capres dan Neolib
Oleh : Aryanto Abidin

Kontestasi politik di republik ini kian ingar bingar saja. Klimaksnya adalah kontestasi pilpres. Para pasangan capres bermanuver dengan bahasa dan gayanya masing-masing. Ada yang “Pro rakyat”, ada yang “lanjutkan” dan ada juga yang “lebih cepat lebih baik”. Saling sikut satu sama lain amat sulit dihindarkan. Ada yang saling ungkit kesalahan masa lalu, ada juga yang mengumbar keberhasilan. Kemiskinan dieksploitasi habis-habisan, lalu ditelanjangi habis-habisan di forum debat capres. Kemiskinan hanya laku saat pemilu legislatif dan pilpres, setelah itu jangan harap dilirik kembali. Para capres dan pasangannya saling berebut dominasi di ruang publik. Seperti biasa, yang terjadi adalah mereka hanya menanamkan kesadaran palsu dan fantasi-fantasi gila tentang kemakmuran. Tapi, para kontestan punya cara tersendiri menjaga imej agar kosmetik yang bernama citra tak luntur. Terakhir yang paling menggelikan adalah saling lempar isu tentang penganut Neoliberalisme (Neolib).

Neoliberalisme menjadi pembicaraan yang hangat di media kita, baik elektonik maupun cetak. Diskusipun digelar dimana-mana, di tivi, di koranpun tak ketinggalan. Di kolong-kolong pohon pun oke. Di pasar, di kampus dan dimana-mana, kata Neoliberalisme terlalu memekakan telinga kita. Bahkan untuk sekedar menterjemahkannya dalam bahasa sehari-hari, kita terkadang kalang kabut. Neolib menjadi isu yang seksi, ia bak selebriti di musim pilpres seperti sekarang ini.

Neoliberalisme menjadi layak dibicarakan, lantaran ia tiba-tiba saja menjadi populis. Neolib dan capres adalah dua kata yang saling bersinggungan dalam konteks ideologi kita. Apalagi ditengah-tengah perhelatan politik seperti sekarang ini. Neolib adalah pelabelan terhadap orang atau lembaga yang menganut Neoliberalisme. Dalam kontestasi politik seperti sekarang ini, saling klaim siapa yang neolib dan yang bukan neolib menjadi buag bibir dimana-mana. Neoliberalisme tiba-tiba saja mendadak terkenal lantaran salah satu pasangan capres. Neoliberalisme menjadi alat legitimasi kampanye negatif. Saling tuduh siapa yang neolib menjadi tak terhindarkan.

Di tataran akar rumput seperti kita ini, pertanyaan tentang neolib tidak pernah bosan-bosannya kita ajukan. Oleh karena itu, kiranya saya tidak berlebihan bila mencoba mengutip roh daripada neoliberalisme itu.
Inti dari gagasan ekonomi-politik neoliberalisme adalah argumen bahwa pertumbuhan ekonomi akan optimal, jika dan hanya jika lalu-lintas barang/jasa/modal tidak dikontrol oleh regulasi apapun. Optimalisasi itu juga hanya akan terjadi bila digerakkan oleh konsep Homo Economics, yaitu barang/ jasa/modal dimiliki dan dikuasai oleh orang-perorang yang akan menggerakkannya untuk tujuan akumulasi laba pribadi sebesar-besarnya, sehingga private property pun menjadi absolut tanpa tanggung-jawab peran sosial apapun juga kecuali untuk akumulasi laba privat sebesar-besarnya. Keserakahan pun dimaklumkan sebagai sesuatu yang baik dan lumrah.
Dalam praktek Neoliberalisme, kalkulasi ekonomi menjadi panglima bagi semua masalah dan persoalan. Imbasnya adalah terjadinya peralihan regulasi dari lingkup arena sosial menjadi lingkup urusan personal saja. Neoliberalisme lebih mengutamakan kepentingan pemodal dan mengabaikan kepentingan nasional (rakyat). Posisi pemodal baik asing maupun domestic (kapitalis) lebih dominan atau pada posisi yang “sentral-substansial”. Sementara di sisi lain, posisi rakyat dan kepentingan nasional diletakkan pada posisi “marginal-residual” (pinggiran). Neoliberalisme mendorong pertumbuhan pasar bebas dan mereduksi intervensi negara seminimal mungkin. Dalam neoliberalisme pertumbuhan ekonomi sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar. Tentu saja dengan mengharapkan berkah tangan ajaibnya pasar (invisible hand). Ganas memang!

Selama ini pembangunan negeri ini adalah tambal sulam dari utang luar negeri. Berkedok membantu, padahal menjajah. Secara langsung, dengan menguasai kekayaan alam kita. Secara tidak langsung, kita diharuskan mengikuti resep pemulihan ekonomi dari IMF. Sampai sekarang belum ada tanda-randa bangsa ini menuju kepada kata yang kita dambakan “sejahtera”. Yang terjadi adalah sebaliknya, kita semakin tergantung pada asing. Kita bukan benci kepada pihak asing, akan tetapi kita harus berdaulat dan bisa mengendalikan mereka. Di era sekarang ini, teramat naïf kalau kita menjadi anti asing. Hanya saja penekanan kepada mereka adalah kita harus berdaulat dan harus tunduk pada regulasi kita. Kepentingan rakyat harus berada pada posisi yang sentral-substansi bukan sebaliknya, menjadi terpinggirkan.

Ditengah kondisi bangsa kita sedang merangkak ini, tentunya butuh pemimpin yang mampu mengelola modal besar bangsa ini, menjadi sebuah bangsa yang mandiri dan sejahtera. Tentu saja dengan tidak mengorbankan harga diri bangsa ini kepada pihak asing. Kita butuh pemimpin yang berani menarik garis yang tegas dengan asing. Sekali lagi kita tidak anti asing, tapi harus terkontrol dan kedaulatan rakyat di atas segala-galanya. Tentunya perhelatan politik dalam rangka memilih pemimpin bangsa ini, merupakan momen yang harus kita masksimalkan. Memperdebatkan Neoliberalisme dalam podium debat capres saja tidak cukup. Menjadi tidak relevan jika para kontestan sekiranya tidak mempunyai komitmen kebangsaan yang kuat. Intinya adalah kedaulatan rakyat di atas segala-galanya. Semoga!


[Read More...]


Popular Posts

Popular Posts Widget
 

Categories

Recent Comments

Stay Connected

http://www.text-link-ads.com/xml_blogger.php?inventory_key=L6TKZHMZ15BNNYYQULG7&feed;=2

About Me

My Photo
aryantoabidin
Welcome to my blog. Aryanto Abidin. That is my original name, while cyber name for this blog. I just ordinary people who are learning to read and understand the existence and I think about indonesiaan.
View my complete profile

Popular Posts

Return to top of page Copyright © 2010 | Platinum Theme Converted into Blogger Template by HackTutors