Kelebihan Mozilla FireFox



Kelebihan Mozilla FireFox

Kebayang ngga sih kalo kamu sedang browse atau sedang cari referensi bahan kuliah di internet, trus tiba-tiba link address yg kamu klik susah sekali terbuka alias hang?. Biasanya sih kapasitas file yg kamu buka sangat berat sehingga sulit di backup oleh browser. Eits….!, tapi tunggu dulu. Itu bagi yang sering menggunakan browser internet explorer (IE). Sekarang udah ada browser mozilla firefox yang bias membuka data yang kapasitas berat. Lalu apa saja kelebihanya? Berikut kelebihan mozilla firefox yang saya kutip dari earndirectory.com dan telah diedit seperlunya:

1. Dapat Memperbesar Size Pada Teks. Pada beberapa situs, teks tidak bisa diperbesar bila menggunakan browser IE (Internet Explorer). Silakan coba baik dengan IE dan Firefox misalnya www.eramuslim.com atau www.dpr.go.id dan banyak lainnya lagi.

2. New Tab di Bagian Atas Dapat membuka halaman dalam “New Tab” ataupun “New Window” Pada IE hanya bisa “New Window” sehingga bila Anda membuka banyak halaman dan tidak ingin menutup halaman-halaman yang dibuka sebelumnya, maka akan memenuhi Toolbar Anda bagian bawah, ditambah program aplikasi-aplikasi lainnya yang sedang Anda buka. Dengan New Tab, halaman-halaman web lebih mudah Anda lihat secara bolak-balik dengan lebih mudah dan nyaman. Untuk membuka New Tab, bisa dari “File à New Tab” atau untuk link, klik kanan saja link tersebut dan pilih “New Tab”.

3. Opsi dalam mendownload. Jika Anda sering mendownload File dan menyimpannya dengan tersusun baik (dalam folder-folder yang sudah diberi nama), Firefox merupakan pilihan yang tepat. File-file yang Anda download tertera dalam suatu daftar sementara, mirip bila Anda menggunakan DAP (Download Accellerator Plus). Namun dengan DAP, bila Anda hendak mendownload ulang file yang sama (misalnya karena file tsb hilang atau download tidak komplit sehingga tidak dapat dibuka) maka sebelumnya Anda harus mencari dulu file tsb dari daftar DAP dan menghapusnya. Hal ini agak merepotkan. File-file yang hendak di download dapat Anda pilih untuk diletakkan pada direktori/ folder yang Anda pilih saat itu juga (Save Link As) ATAU bila pilih “Save” akan langsung masuk ke direktori/ folder yang telah Anda tetapkan sebelumnya. Sehingga Anda tidak perlu repot untuk browse hardisk Anda dan mengarahkannya ke direktori / folder tertentu lagi. Pada IE folder penyimpanan tidak bisa di set sebelumnya, yang pertama kali terbuka adalah folder dimana kita menyimpan file terakhir kali.

Lihat kelebihan lainnya di sini : http://insanecats.com/firebird atau http://icttmg.wordpress.com/2007/06/28/tahukah-anda-kelebihan-browser-mozilla-firefox/

[Read More...]


Selamat Idul Adha




this image tkaen from this

Selamat Idul Adha 1428 H

Semoga semangat pengorbanan Nabi Ibrahim As menjadi teladan bagi kita semua. Semoga kita rela mengorbankan rasa dendam dan kebencian yg menyelimuti jiwa kita.





[Read More...]


“Thanks Pak Dokter”



“Thanks Pak Dokter”

Kerinduanku akan blog yang hampir lima bulan tidak ter-update, menuntun pikiranku pada sebuah warnet (Aero net) yang terletak di kompleks perumahan Bumi Tamalanrea Permai (BTP). Sebuah kompleks perumahan yang tak jauh dari kampus unhas. Meski saya sedang menikmati momen kebahagiaan bermahasiswa, yakni Kuliah Kerja Nyata (KKN), tetap tidak mengurungkan niat untuk menyapa blogku.

Sore hari yang sedikit mendung, saya memacu motor setengah terburu-buru, dari arah lokasi KKN (Kecamatan Moncongloe, Kabupaten Maros) menuju warnet. Sperti biasa, setiap hari kerja warnet itu selalu kebanjiran pelanggan. Sayapun tidak kebagian tempat. Saya memutusakan untuk menunggu. Di saat menunggu, secara tidak sengaja saya bertemu Asta. Rupanya Asta sering online di Aeronet. Asta adalah seorang dokter muda yang sedang menyelesaikan Co-as di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo Makassar. Selama ini saya dan Asta jarang ketemu secara offline. Selama ini kami hanya bersua secara online lewat blog. Setiap kali kami bertemu, perbincangan yang selalu menghangatkan pertemuan kami adalah tentang blog. Biasanya saya slalu memuji blognya Asta. Saya memuji blognya karena content blognya yang menarik, rapi, serta konsisten dalam mengupdate. Satu hal lagi yang membuat saya mengacungkan jempol kepada Asta yakni kepiawaiannya mengutak-atik blog dan “bermain-main” dengan google Adsense. Google Adsense adalah sebuah program periklanan yang mendatangkan uang. Untuk lebih detailnya silahkan baca di sini.

Kepiawaiannya mengutak-atik blog inilah, yang membuat blog saya seperti yang anda lihat sekarang. Tampilan Blog saya yang sekarang ini (versi beta) adalah hasil kreasinya selama hampir 2 jam offline kami pada Rabu sore (28 November). Dengan sabar Asta mengutak-atik setiap kesalahan pada blog saya maupun bhasa kode template blog yang nggak matching. Saya sangat senang dengan tampilan blog yang sekarng ini. Layout 3 kolom yang rapi, yang selama ini saya idamkan. Rasa-rasanya saya akan sering lagi ngeblog deh. “Doakan saya pemirsa!” agar saya tetap konsisten meng-update content blog. Akhirnya, Thanks Pak Dokter, Thanks Bro! Saya berhutang budi sama antum.

[Read More...]


Unhas, makin 'Hot' dengan Hot Spot



Unhas, Makin 'Hot' dengan Hot Spot

Asyiknya main internet gratis di Unhas. Lho kok bisa? iya dong Unhas kan sekarang dah pake sistem wireless, dia dah tanam kabel serat optik di area Unhas. So, kamu bisa akses internet gratis, itu kalo kamu punya laptop. Bagaimana kalo kamu ga punya Laptop? Tenang aja, PC (Personal Computer) juga bisa. Tapi yang ini butuh pengorbanan (dari pada kamu beli laptop jutaan rupiah). kalo kamu punya PC, kamu tinggal beli alat penangkap jaringan semacam wireless nya gitu loch!. Kalo Laptopkan dah komplit sama penangkap jaringan internetnya. Kalo kamu punya PC, tinggal beli alat penangkap jaringan internet merek D-link. Setelah, itu kamu bisa koneksikan ke PC mu. Alatnya simpel kok, ukurannya mirip-mirip Flash Disk kok. harganya cuma 300 ribu rupiah kok. (o ya, hanya yang berdomisili dalam kampus unhas, yang berdomisili di luar kampus, saya belum bisa buktikan sendiri). OK deh selamat mencoba.


[Read More...]


Revitalisasi Peran Lembaga Kemahasiswaan



Revitalisasi Peran Lembaga Kemahasiswaan
(Tanggapan atas Tanggapan Wiwin Suwandi)
Oleh: Aryanto Abidin*
*Penulis adalah wakil Presiden BEM Unhas 2006-2007,
Sekum HMI Komisariat Perikanan 2002-2003.
(Dimuat di Penerbitan Kampus Identitas edisi awal Juni 2007)

Membaca tulisan saudara Wiwin Suwandi yang berjudul Reposisi Peran Lembaga Kemahasiswaan (identitas, edisi awal Mei 2007), sepertinya kita diajak untuk membedah fenomena kemahasiswaan kita. Tulisan tersebut merupakan tanggapan atas tulisan penulis yang berjudul Matinya Lembaga Kemahasiswaan Kita (Identitas, edisi Awal April 2007). Tulisan tersebut (meminjam istilahnya Wiwin Suwandi) merupakan teguran universal bagi siapa saja, termasuk bagi penulis sendiri. Dalam tulisannya tersebut Wiwin Suwandi, menitik beratkan pada dua permasalahan sebagai pijakan berpikirnya, yakni ideologi gerakan dan metode pengkaderan. Sayanganya, Wiwin Suwandi tidak secara tegas menjelaskan dasar keyakinannya, sehingga peran lembaga kemahasiswaan perlu direposisi. Akibatnya, wilayah analisisnya hanya bermain pada wilayah periferi dan terkesan hambar.

Wiwin Suwandi juga berulang kali mengambil sampel tentang gerakan mahasiswa ’98, yang mampu menumbangkan rerzim orde baru, sebagai contoh ideal dan referensi berharga akan perlawanan mahasiswa melawan rezim otoriter. Dalam pandangan saya, gerakan mahasiswa ’98 justru gagal mengawal reformasi yang telah mereka mulai. Padahal, gerakan mahasiswa ’98 seharusnya membuat rencana strategis jangka panjang untuk mengawal reformasi. Sayangnya, gerakan mahasiswa ’98 terkesan hanya untuk menjatuhkan rezim yang berkuasa pada saat itu. Maka jadilah gerakan mahasiswa tak ubahnya seperti koboi yang turun gunung jika terjadi ketidak beresan, lalu setelah aman, kembali ke habitat semula dan membiarkan orang-orang yang tidak bertanggung jawab memerintah kembali. Apapun namanya, melalui tulisannya tersebut, Wiwin Suwandi telah melakukan hal yang terbaik, yakni sebuah ijtihat intelektual yang mencerahkan.

Butuh Revitalisasi

Menyelami lebih jauh tanggapan Wiwin Suwandi tersebut, justru menimbulkan keresahan dan tanda tanya baru bagi kita, termasuk penulis sendiri. Reposisi peran seperti apakah yang coba ditawarkan oleh Wiwin Suwandi, sebagai ‘obat kuat’ atas mandulnya lembaga kemahasiswaan kita? Serta mulai dari mana? Setidaknya itulah pertanyaan-pertanyaan retoris yang patut kita gugat kepada Wiwin Suwandi. Padahal, kita harus memiliki pijakan awal yang jelas untuk mengatakan bahwa lembaga kemahasiswaan itu harus direposisi.

Agaknya Wiwin Suwandi lupa, bahwa peran lembaga kemahasiswaan yang termanifestasi dalam gerakan mahasiswa adalah mengawal demokrasi dengan mengusung gerakan moral dan gerakan politik. Hanya saja untuk konteks kekinian, hal itu nyaris hilang dari lembaga kemahasiswaan kita. Menurut hemat saya, peran lembaga kemahasiswaan tidak perlu direposisi, akan tetapi hanya butuh revitalisasi atau penguatan kembali. Hal ini disebabkan karena eksistensi lembaga kemahasiswaan tetap memposisikan dirinya berada pada kerangka ideal tersebut, yakni gerakan moral dan gerakan politik. Maka jangan heran, kalau gerakan mahasiswa yang berjalan sekarang terkesan responsif dan cenderung reaksional. Dalam artian, gerakan mahasiswa hanya ingin terlihat populis agar tidak dibilang mati, serta agar terlihat macho. Setelah itu, gerakan mahasiswa pulang ke kandangnya (baca:kampus) sambil menunggu (untuk tidak dibilang tidur pulas) isu yang lebih populis dan seksi. Seperti itulah gerakan mahasiswa kita sekarang. Untuk itu, gerakan mahasiswa tidak boleh hanya mengandalkan gerakan yang berbasis masa dan gerakan moral saja, akan tetapi perlu penguatan pada basis gerakan politik ekstra parlementer. Gerakan politik tidak lantas diidentikan dengan partai politik, walaupun pada kesempatan tertentu pengamat sosial dan budaya dari UI Fajroel Rahman menyarankan, agar gerakan mahasiswa merebut dan membangun kekuasaan lewat partai politik berbasis mahasiswa (lihat:www.jurnalnasional.com). Menurut Andi Rahmat, mantan ketua KAMMI Pusat mengatakan, gerakan politik harus dimaknai sebagai upaya mempengaruhi kebijakan (Sabili,28/2/2001:69). Namun, gerakan politik tidak boleh berhenti pada upaya mempengaruhi kebijakan saja, akan tetapi juga harus mengawal kebijakan. Hal ini perlu, agar demokrasi tidak dibajak oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab (baca: demokrasi kaum penjahat).

Revitalisasi juga perlu dilakukan pada tataran ideologi. Seperti yang juga dirisaukan oleh Wiwin Suwandi, bahwa gerakan mahasiswa harus memiliki ideologi yang jelas. pada tataran ini penulis sangat sependapat, sebab tanpa ideologi, gerakan mahasiswa seperti sebuah bangunan yang rapuh dan terkesan hambar dalam tataran praksisnya. Harus diingat juga, bahwa perbedaan ideologi antar kelompok gerakan, merupakan potensi besar yang dapat memicu pecahnya gerakan mahasiswa. Hal ini tergantung bagaimana kita cerdas mengelola perbedaan tersebut. Adalah suatu hal yang utopis bila kita ingin menyatukan ideologi antar kelompok pergerakan. Karena tiap-tiap kelompok pergerakan punya karakter dan ciri tersendiri. Oleh karena itu, perbedaan ideologi harus bisa didialogkan agar tidak terjadi superioritas masing-masing kelompok gerakan. Hal ini perlu dilakukan guna mencari titik temu antar kelompok pergerakaan yang berbeda ideologi. Maka, titik temu yang paling indah adalah pada kesamaan wacana dan isu gerakan yang diusung. Dengan demikian, maka perbedaan ideologi gerakan akan menjelma menjadi kekuatan besar. Bukankah pluralitas itu indah dan seksi?

Diskursus Gerakan dan Kerelaan Mayoritas

Diskursus (baca:wacana) gerakan mahasiswa akan sedikit menarik jika kita reflesikan pada institusi yang bernama unhas. Dalam pandangan saya, gerakan mahasiswa unhas memiliki ciri khas tersendiri, yakni kemapanan wacana gerakan. Sayangnya wacana gerakan tidak pernah membumi. Wacana gerakan hanya milik pribadi elit lembaga kemahasiswaan, akibatnya wacana gerakan terkesan melangit. Oleh karenanya, aktivis mahasiswa harus mampu membina kemesraan dengan media kampus sebagai tools penunjang dalam membumikan wacana gerakan. Pada tataran ini, hampir tidak ditemukan aktivis mahasiswa yang mampu memainkan peran tersebut. Padahal, pertarungan kita sekarang adalah pertarungan wacana. Maka benarlah Gramsci lewat teori hegemoninya, siapa yang menguasai kepala orang (baca:wacana), maka ia akan menjadi pemenangnya. Ambil contoh wacana unhas menuju BHP. Kalau kita jeli melihatnya, maka kita akan menemukan diskursus yang saling berkompetisi untuk menjadi pemenang yaitu antara birokrat kampus dan mahasiswa. Itu hanya contoh kecil.

Dalam konteks gerakan, meminjam terminologi HS Dillon (Kompas, 19 Mei 2007) rupa-rupanya kita belum punya kerelaan mayoritas. Kerelaan mayoritas untuk menanggalkan simbol primordial yang dapat merampas keutuhan gerakan mahasiswa. Simbol primordial dapat berupa superioritas fakultas, warna almamater, semangat fakultas yang bukan pada tempatnya. Sedikit berkaca pada aksi 2 Mei lalu dalam rangka memperingati Hardiknas. Hampir saja terjadi kejadian yang memalukan antar mahasiswa unhas sendiri. Persoalannya sepele, hanya karena membawa panji lembaga kemahasiswaan tingkat universitas. Walau sebelumnya ada kesepakatan tidak boleh ada panji lembaga kemahasiswaan selain panji Aliansi Mahasiswa Unhas.

Namun pada kenyataannya, panji fakultas berkibar angkuh di lokasi aksi. Ini menandakan semangat fakultas yang bukan pada tempatnya, masih kental mewarnai aksi mahasiswa unhas. Ditambah lagi jenderal lapangan yang terlalu akomodatif serta gampang didikte oleh bukan peserta aksi (pihak eksternal). Hasilnya, aksi yang amburadul. Orang-orang seperti ini layak diidentifikasi, agar tidak menodai kemurnian isu dan gerakan yang diusung. Maka, sulit untuk tidak mengatakan bahwa aksi 2 Mei lalu ternodai oleh pihak tertentu, terkait dengan pilkada sulsel. Ini menandakan ketidak konsistenan dalam menjaga kesatuan dan kemurnian isu yang diusung. Arogansi almamaterpun juga menjadi penyakit yang mematikan dalam konteks gerakan mahasiswa. Padahal, lembaga mahasiswa dan warna almamater hanyalah kendaraan dan simbol eksistensi. Yang harus kita lihat yakni, kesamaan isu dan kemurnian gerakan yang diusung. Warna almamater tidak harus menjadikan kita mengklaim bahwa isu pendidikan sebagaiamana yang diusung pada aksi 2 mei lalu, hanya milik sah alamater tertentu. Hal ini justru ada hubungan yang saling mematikan antara institusi dari almamater yang berbeda. Persoalannya hanya karena siapa yang mayoritas. Jika demikian, alangkah angkuhnya kita. Sekali lagi, hal itu terjadi karena kita belum punya semangat kebersamaan dan kerelaan mayoritas untuk menanggalkan simbol-simbol primordial yang melekat angkuh pada kedirian kita.

Mencari Energi Gerakan

Gerakan mahasiswa memang butuh ideologi sebagai energi gerakan, namun jangan lupa, ideologi gerakan saja tidak cukup. Masih banyak varian energi gerakan yang lain yang perlu dibenahi. Dengan demikian, gerakan mahasiswa tidak mengalami ‘ejakulasi dini’ serta memiliki nafas panjang dalam mengawal demokrasi. Sehingga gerakan dapat suistainable serta tidak bersifat reaksional. Mengutip Brian Yuliarto (www.brianyuliarto.com) yang mencoba menawarkan beberapa suplemen sebagai energi gerakan. Pertama, memiliki pemahaman yang baik tentang hakikat pergerakan. Tujuan akhir sebuah pergerakan selayaknya dipahami secara utuh oleh seluruh angota gerakan. Kedua, mampu menjaga ritme gerakan. dalam artian mengetahui kapan pergerakan harus bergerak cepat, kapan bergerak lambat atau bahkan tidak melakukan gerakan publik. Ketiga, mampu melihat permasalahan dengan baik. Keempat, memiliki pemimpin yang berkarakter. Pemimpin bukanlah segala-galanya bagi sebuah pergerakan, tetapi pemimpin yang tidak memiliki karakter kuat adalah awal kehancuran bagi sebuah gerakan. Tulisan ini hanyalah bagian dari ikhtiar penulis dalam membumikan wacana gerakan. Semoga!.
[Read More...]


Blogku, akhirnya....!



Blogku, akhirnya....!

Hampir satu bulan lebih, saya nggak ngeblog (nggak posting tulisan). Tapi saya tetap buka blog saya. Melalui shout box, banyak blogger yang nanya, kenapa nggak diupdate blognya. Kira-kira intinya seperti itu pertanyaannya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut sungguh menohok hatiku. padahal saya pengen ngisi blogku. Tapi apa boleh buat, satu bulan lalu, saya secara tidak sengaja mengganti password blog. Gara-garanya pake passwor yang lama nggak bisa kebuka. Eh, cek per cek rupanya keybord komputernya yang bermasalah. Wuihh... jengkel dan marah bercampur aduk. Satu bulan absen ngisi blog, membuatku linglung. Saya seperti orang yang terkena sindrom blog.

Padahal banyak naskah tulisan yang ngantri. Akhirnya setelah melakukan berbagai usaha, akhirnya bisa juga kebuka, walau dengan email yg berbeda dengan email yang dulu. Untung ada acount Google . Acount Google meregister otomatis ID baru kita dan langsung konek ke alamat blog kita. Thanks ya G mail. Mmmmuaaaccchh....
[Read More...]


Matinya Lembaga Kemahasiswaan Kita



Matinya Lembaga Kemahasiswaan Kita


Oleh: Aryanto Abidin
Penulis adalah Mahasiswa Perikanan, Wakil Presiden BEM Unhas
Pernah Bekerja pada Kebijakan Publik KAMMI Daerah Sulsel
(Dimuat di Penerbit Kampus Identitas edisi awal April 2007)

Ada apa dengan lembaga kemahasiswaan kita hari ini? Mungkin pertanyaan itu bercokol angkuh dalam akal sehat kita. Pertanyaan tersebut merupakan sebuah bentuk keresahan terhadap lemahnya (untuk tidak dibilang mandulnya) lembaga-lembaga kemahasiswaan kita dalam mengawal isu-isu ke-unhasan, serta isu regional maupun nasional. Kenyataan ini seolah memaksa kita untuk mengambil sebuah conclution, bahwa hampir semua lembaga kemahasiswaan kita hari ini mengalami disorientasi. Bahkan yang cukup mencengangkan lagi adalah, lembaga kemahasiswaan kita cenderung menjadi anjing penjaga (watch dog) kekuasaan. Ketidak berdayaan lembaga mahasiswa kita hari ini, seolah menjadi pembenaran atas matinya gerakan mahasiswa Unhas. Lalu dimanakah mereka yang mengatas namakan dirinya aktivis, para pimpinan lembaga fakultas maupun jurusan? Mungkinkah mereka sedang sibuk tawar menawar dengan kekuasaan atau dengan birokrat kampus ini? Ataukah mereka sedang gamang, lalu menjual idealisme dengan mengatas namakan mahasiswa?. Jika demikian, sungguh menjijikan dan patut kita sayangkan.



(Lembaga) Mahasiswa dan Kelelahan Idealisme

Hampir tidak ada yang membantah, jika akhir-akhir ini kondisi lembaga kemahasiswaan di republik ini sedang mengalami titik kejenuhan yang akut. Tak terkecuali di sulsel dan terkhusus di unhas. Kondisi ini seolah menjadi penyakit berkepanjangan yang tak kunjung sembuh. Lantas, gerangan apakah yang membuat lembaga-lembaga mahasiswa yang ada di Unhas bernasib demikian? Mungkinkah lembaga-lembaga mahasiswa gagal melakukan transformasi nilai dalam setiap jenjang pengkaderan? Ataukah sebaliknya, para mahasiswanya yang kesulitan menerima apa yang disuapi senior-seniornya dalam ruang-ruang pengkaderan?. Atau jangan-jangan kita lupa diri tentang eksistensi kita? Rasa-rasanya masih banyak pertanyaan nakal yang muncul dalam kepala kita masing-masing. Pertanyaan-pertanyaan di atas setidaknya sedikit mewakili dari sedikit kita yang resah.

Boleh jadi (lembaga) mahasiswa kita hari ini mengalami kelelahan idealisme sebagaimana yang disinyalir oleh Syahrin Harahap dalam bukunya yang berjudul Penegakan Moral Akademik di Dalam dan Di Luar kampus. Ada hal yang yang mencolok pasca reformasi 1998, gerakan mahasiswa mengalami tidur yang teramat panjang dan sesekali berkompromi dengan penguasa. Moral force tidak lagi menjadi roh bagi setiap gerakan mahasiswa, pun halnya yang terjadi di unhas. Kita teramat sulit untuk bersatu dan berteriak lantang di depan gedung berlantai delapan, yang berdiri mengangkang dan sesekali mengolok-olok kegirangan ke arah kita, lantaran kita tidak mampu berbuat banyak untuk mahasiswa. Kita juga teramat sulit berkumpul bersama di depan pintu satu sekedar meneriakan keresahan walau hanya sesekali.

Maka tidak heran jika muncul pertanyaan, gerangan apakah yang menyebabkannya demikian? Mengutip Syahrin Harahap (2005), pertama banyak dari mahasiswa mengalami kelelahan idealisme. Banyak dari kita (baca:mahasiswa) yang selama ini ideal, seringkali merasa sendiri, sehingga gerakan yang dibangunnya pun adalah gerakan yang kesepian, lalu menjadi gerakan yang merana. Akhirnya mereka menjadi pragmatis dan ikut arus dan terjebak di dalamnya. Kedua, terjebak dalam sektarianisme. Dalam konteks unhas, fenomena sektarianisme dapat terindikasi dari lemahnya komunikasi antar sesama lembaga mahasiswa tingkat fakultas (BEM/Senat), ditambah lagi dengan arogansi dan eksklusifitas fakultas masing-masing. Hal ini menimbulkan gejala superioritas pada masing-masing lembaga kemahasiswaan. Akibatnya lembaga kemahasiswaan saling berhadap-hadapan dalam mengawal isu serta dalam menyelesaikan permasalahan internal kelembagaan. Padahal, harusnya kita berhadap-hadapan dengan penguasa yang zalim atau pengelola kampus yang otoriter, serta tidak berpihak kepada kepentingan mahasiswa. Ketiga, terjebak dalam etika heteronom. Yang dimaksud dalam hal ini adalah terkait dengan motivasi suatu tindakan serta gagasan oleh gerakan mahasiswa, bukan karena rasa kewajiban untuk menegakan kebenaran, akan tetapi lebih banyak didominasi oleh motivasi pragmatis dalam berbagai bentuk pamrih. Selain itu, ada hal lain juga yang menurut saya turut menciptakan kelelahan idealisme. Adalah minimnya kesadaran kritis mahasiswa, akibatnya mahasiswa terseret arus yang begitu kuat yang berada diluar diri kita, yakni kapitalisme global yang hadir dalam bentuk kesenangan semu (hedonisme). Maka di sinilah peran lembaga-lembaga kemahasiswaan dibutuhkan. Lembaga mahasiswa harus mampu menginternalisasi nilai kearifan guna merangsang kesadaran kritis.

Borjuis imut-imut

Menjadi pengurus lembaga mahasiswa adalah sebuah pilihan sekaligus panggilan moral. Tidak semua orang mampu melakoninya, apalagi mengahiri pilihannya tersebut dengan indah dan penuh prestasi. Menjadi pengurus lembaga kemahasiswaan harus siap (mental) menerima kritikan. Sebab kalau tidak, mereka akan dilindas oleh kekerdilan jiwa mereka sendiri. Adalah menjadi hal yang lumrah jika mereka teramat dekat dengan pengambil kebijakan kampus. Namun yang menjadi masalah jika kedekatan itu terjalin karena hitung-hitungan pragmatis, maka bersiap-siaplah dicap sebagai penjilat. Pengurus lembaga kemahasiswaan terkadang menjadi tersanjung bila dipanggil rapat di tempat-tempat mewah, tanpa harus menganalisa lebih awal, ada apa di balik itu semua. Bukankah di kampus kita diajak berpikir kritis?

Ada fenomena menarik yang terjadi di kalangan pengurus-pengurus lembaga kemahasiswaan kita akhir-akhir ini. Sebut saja kebiasaan dari sebahagian mereka dalam menyelesaikan atau perbincangan tentang kemahasiswaan justru terbangnun dari kafe-kafe. Hal ini mengingatkan saya pada saat pemilu raya tahun lalu, dimana negosiasi politik lebih banyak terbangun dari kafe-kafe. Hal ini tidak salah, namun yang menjadi masalah jika wacana kemahasiswaan terlalu sering didiskusikan di kafe-kafe yang cenderung bernuansa remang-remang, maka wacananya pun menjadi bersifat elitis. Jadi, praktis yang paham tentang isu-isu kemahasiswaan adalah hanya para pengurus lembaga. Fenomena-fenomena tersebut di atas (meminjam istilahnya Alwi Rahman) yang ditengarai sebagai perilaku borjuis imut-imut di kalangan mahasiswa.

Fenomena lain adalah matinya kelompok-kelompok diskusi di kalangan mahasiswa. Anehnya, justru yang muncul adalah kelompok-kelompok gosip. Bahkan gosip sekarang tidak lagi lakon tunggal si mahasiswi (baca:perempuan) akan tetapi juga menjangkiti si mahasiswa (baca:laki-laki). Tema-tema gosippun beragam. Misalnya saja, apa merek ponsel? apa merek bedak dan gincu?, tipe cowok/cewek idaman, artis idola, apa merek jeansmu? atau malam mingguan nongkrong di mana?. Bahkan majalah-majalah mode dan remaja menjadi dominan mengisi tas mereka ketimbang buku bacaan yang mencerdaskan. Hal-hal tersebut seolah menjadi pembenaran atas kelelahan (baca:ke-bete’an) intelektual kita dalam membaca realitas. Kita menjadi bangga ketika kita memamerkan tipe HP keluaran terbaru atau merek-merek baju dan parfum terkenal. Atau sekedar memamerkan bagian-bagian tubuh hingga membentuk cetakan dan lekukan yang sebenarnya tidak pantas untuk dipamerkan. Kondisi seperti ini, membuat mereka seperti sedang mengalami puncak kenikmatan. Sepertinya (bagi mereka) hal tersebut terlalu mubadzir untuk tidak dilakoni. Fenomena-fenomena ini juga ditengarai sebagai perilaku borjuis imut-imut di kalangan mahasiswa.

Terjebak Arus Primordial

Seperti yang telah saya sebutkan di atas, bahwa salah satu perilaku primordial yang dominan mewarnai interaksi kemahasiswaan kita adalah ego fakultas. Ruang dilaetika antara sesama lembaga kemahasiswaan justru hampir tidak menemukan ruangnya. Sehingga menyebabkan munculnya jurang pembatas antara fakultas yang satu dengan yang lainnya teramat jauh. Boleh jadi hal ini muncul dari ruang pengkaderan kita yang cenderung fakultatif serta doktrin fakultas yang teramat kebablasan. Bukankah kita berada dalam ruang universal yang disebut dengan Universitas?. Oleh karenanya, kenapa kita tidak mencoba membangun sebuah metode pengkaderan yang menghargai universalitas? Sehingga dengan demikian melahirkan kebersamaan, serta menghargai perbedaan. Selain itu juga, persoalan pelik yang menimpa lembaga-lembaga kemahasiswaan kita adalah terlalu berlama-lama pada permasalahan internal. Bahkan yang lebih menyedihkan lagi adalah kelompok-kelompok pergerakan justru gagal menemukan titik temu dalam membangun wacana gerakan. Kelompok-kelompok mahasiswa ini justru cenderung saling ’membid’ahkan’. Mereka merasa paling benar sendiri dan merasa kelompoknyalah yang paling ideal. Maka jadilah kebenaran itu hanyalah milik sah kelompok mereka (klaim kebenaran tunggal). Bukankah kebenaran itu banyak sisinya?. Mereka yang merasa benar sendiri tidak akan mampu melahirkan perubahan yang signifikan. Justru yang terjadi adalah gerakan yang mereka bangun adalah gerakan yang kesepian. Maka hampir dipastikan bahwa kelompok mahasiswa seperti inilah yang akan menghancurkan lembaga-lembaga kemahasiswaan kita. Wallahu’alam bishawaab.

[Read More...]


Laptop, Tukul dan Anggota DPR



Laptop, Tukul dan Anggota DPR

Kembali ke laptop!”. Siapa yang tidak familiar dengan kalimat tersebut? Pasti kalimat tersebut sangat familiar di telinga kita. Adalah Tukul Arowana-pembawa acara empat mata yang ditayangkan di salah satu stasiun televisi swasta-yang mempopulerkannya. Entah berapa puluh kali dia mengulang kalimat itu dalam satu kali tayang. Inilah yang membuat Tukul menjadi presenter terlaris dan terkenal saat ini. Dengan laptopnya itu, pertanyaan-pertanyaan cerdas terus meluncur dari mulutnya. Dengan satu pertanyaan saja, mulutnya tak pernah berhenti berkreasi melontarkan pertanyaan cerdas, nakal dan lebih banyak menggelitiknya. Lalu apa hubungannya dengan anggota DPR? Jelaslah! Anggota DPR juga ingin punya laptop. Hanya saja bedanya, kalau Tukul laptopnya disediakan oleh si pemilik acara tersebut. Lalu anggota DPR, dapat laptop darimana? Simpel saja, merampok uang rakyat. Saat rapat, tinggal sebut nominal, tentukan spesifikasinya, semua setuju. “Jadi deh!” . Gampangkan merampok uang rakyat?. Beginilah gaya merampok ala anggota DPR. Nggak perlu capek-capek nodong orang. Mereka tinggal nodongkan pulpen untuk tanda tangan. Nggak seperti koboy di texas sana, yang main nodong senjata.


Kita sepertinya terkaget-kaget mendengar harga laptop yang mencapai nominal 21 juta rupiah tersebut. Pertanyaannya kenapa harus 21 juta? Atau kenapa anggota DPR tidak mampu membeli laptop? Padahal dengan gaji, plus tunjangan bulanan yang sudah melampaui nominal 100-an juta, mereka bisa membeli sendiri. Jangan hanya ngomong untuk kepentingan rakyat pas kalau ada maunya saja. Sementara di sisi lain, dengan gaji dari uang rakyat juga, mereka tidak berani berkorban untuk membeli laptop. Padahal, kalau untuk mengetik saja dengan laptop harga 5-7 juta saja sudah dapat laptop bagus. 21 juta sepertinya terlalu mahal untuk urusan mengetik. Kita begitu miris kalu meyaksikan berita di tivi yentang kursi anggota DPR saat rapat, yang hampir semuanya kosong. Ada juga yang tidur, mungkin kekenyangan makan uang haram. Atau bisa jadi semalaman habis dari panti pijat. Atau mungkin kecapekan setelah semalaman afair dengan selingkuhannya. Seperti kasus si penyanyi dangdut itu. Saya kok jadinya sok tau sih? Lalu kenapa mereka begitu nekat dengan harga selangit tersebut? Ya..., apalagi kalu bukan untuk gaya-gayaan, gengsi-gengsian. Pantasan banyak orang yang bernafsu ingin jadi anggota dewan.

Anehnya lagi, hampir tidak ada satu partai pun yang berani menyatakan menolak pengadaan laptop tersebut. Apakah partai-partai tersebut buta dan tuli, hingga tidak bisa melihat dan mendengar penderitaan rakyat yang akhir-akhir ini semakin terjepit?. Harga beras yang naik, bencana dimana-mana, lumpur lapindo yang tak kunjung berakhir, lapangan kerja yang sangat sulit, kelaparan di NTT. Ini hanyalah sekelumit persoalan bangsa yang tak kunjung henti. Sementara di sisi lain, anggota dewan yang katanya wakil rakyat, kok begitu tega menghambur-hamburkan uang rakyat. “Gila ya!”. Sepertinya saya tidak perlu merasa aneh deh dengan sikap partai seperti ini. Sertidaknya, uang untuk beli laptop tidak keluar dari kantong sendiri. Sehingga dengan demikian, partai-partai dapat setoran lebih dari anggota-angotanya. “Lho untuk apa?”. Tanya temanku yang tulalit. “So pikun lo!”. Kata teman saya yang asli betawi itu. ”Ya iyalah, 2009 kan sudah dekat”. Timpal teman saya yang satu lagi. ”Emangnya 2009 ada apa ya?”. Tanyanya lagi. “Ha…???. Masih Belum nyambung juga?. Pemilu bego!”Jelas kedua teman saya. “Kalau begitu kita boikot aja pemilu. Lanjut temanku yang tulalit. ”Tumben kamu nyambung”. Sela temanku yang asli betawi itu. ”Emang alasan kamu apa mau boikot pemilu?” Tanya temanku yang dari minang. ”Bingung-binging ku memikirkan. Capek deh!!”. jawab teman yang tilalit. ”Ha...????. Dasar tulalit, idiot, bego”. Semoga saja anggota dewan kita tidak Bego-bego dan tulalit. Jangan sampai deh. Ting...nng!.


[Read More...]


Pasir Berbisa



Judul tulisan di atas mirip dengan judul sebuah film yang berjudul Pasir berbisik. Tapi saya lupa, film itu popular diera kapan. Kita juga biasanya menderngar atau mengetahui, hanya ular saja yang berbisa. Dengan bisanya itu, ular bisa melumpuhkan mangsanya hingga tidak berkutik. Namun, apa jadinya jika pasir yang berbisa? Lho kok bisa? Kalau anda sering mengikuti perkembangan terakhir bangsa ini, kita dikejutkan dengan penangkapan kapal asing penambang pasir. Masih kabur juga? Begini!, indonesia mengambil sikap yang tegas (seharusnya dari dulu dong!) terhadap ekspor pasir indonesia. Apa pasal? Hal ini lantaran Singapura sedang getol-getolnyanya melakukan reklamasi pantai di daerah perbatasan luar mereka. Lantas, apa masalahnya? Masalahnya adalah pasir yang yang dibeli dengan harga murah (bahkan dirampok dengan cara menghisap menggunakan (berkedok) kapal patroli) itu, rupa-rupanya digunakan untuk memperluas wilayah singapura.

Celakanya lagi, wilayah yang diperluas tersebut mengarah kepada pulau terluar Indonesia, tepatnya pulau-pulau kecil di propinsi kepulauan Riau. Kali ini indonesia (kita) tidak mau kecolongan (lagi). Byangkan saja Indonesia Indonesia kehilangan 6 km persegi wilayah kedaulatannya akibat kegiatan tersebut selama lebih kurang 30 tahun. Kebayang nggak sih, kalau dalam kurun waktu tersebut, singapura berhasil memperluas wilayah daratannya. Kalau tahun 1976 luas wilayah daratan Singapura hanya 581, 5 km persegi akan tetapi tahun 2006 luas wilayahnya menjadi 660 km persegi. Wow, luar biasa!. Lalu bagaimana reaksi indonesia? Pemerintah kita sepertinya tak peduli dengan hal ini. Buktinya, selama orde baru berkuasa hal ini dibiarkan saja. Nggak peduli dampak yang sebabkan oleh aktivitas penambangan, yang penting bisa menghasilkan uang. Gila nih! pemerintah kita hanya berpikir jangka pendek, padahal negeri ini harus diwariskan pada generasi selanjutnya. Kita baru punya peraturan yang melarang ekspor pasir tahun 2003 lalu. Yah, daripada tidak ada, lebih baik terlambatkan?. Lewat Surat Keputusan (SK) menteri Perindustrian dan Perdagangan nomor 117/MPP/Kep/2/2003, saat Rini MS Soewandi jadi menteri di era megawati. Paralel dengan skap pemerintah kita yang acuh tak acuh dengan dampak lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas penambangan pasir, pengusaha kita pun demikian. Mereka hanya mementingkan keuntungan saja tanpa berpikir nasib generasi mendatang. Ini adalah indikasi dari lunturnya rasa nasionalisme kita. Maka lengkap sudah penderitaan kita. Hal ini tidak dibiarkan berlarut begitu saja. Sebab, pasir yang kita ekspor sanagat justru menjadi berbisa dan menghilangkan sedikit demi sedikit wilayah republik ini. Hal ini kalau dibiarkan, maka lambat laun indonesia akan hilang dari peta dunia. Semoga tidak!
[Read More...]


BHP, Praktek Haram Pendidikan Kita



BHP, Praktek Haram Pendidikan Kita

Oleh: Aryanto Abidin

Mahasiswa Perikanan, Wakil Presiden BEM Unhas dan
(dimuat di penerbitan kampus Identitas edisi khusus Desember 2006)

Praktek otonomi kampus di negara kita bermula dari lahirnya peraturan pemerintah (PP) No. 60 dan 61 tahun 1999, tentang perubahan perguruan tinggi negeri (PTN) menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Lalu diperkuat oleh Undang-undang No.20 tahun 2003 tentang Sisdiknas yang mencantumkan tentang BHP pada pasal 53. Sementara perangkat hukum yang mengatur tentang itu diatur dalam undang-undang tersendiri (sekarang baru RUU BHP). Dari kedua PP tersebut, maka dipilihlah empat perguruan tinggi negeri untuk dijadikan Perguruan Tinggi (PT) BHMN. Keempat perguruan tinggi tersebut adalah UI, IPB, ITB, dan UGM. Keempat PTN tersebut diberi kewenangan untuk mengatur keuangan sendiri serta menutupi kekurangan dana operasional pendidikan. Salah satu cara yang ditempuh oleh keempat PTN tersebut adalah dengan cara menaikan SPP bagi mahasiswa. Setelah ditelusuri lebih jauh, ternyata BHMN merupakan ’pemanasan’ menuju BHP. Pro-kontra BHP juga sedang menggeliat di ke-empat kampus tersebut. Lalu, bagaimana dengan Unhas? Sepertinya syahwat menuju BHP sudah tak terbendung lagi. Sosialisasi Unhas menuju BHP semakin gencar dilakukan oleh pengambil kebijakan di kampus ini.

Praktek BHMN di Unhas

Walau sama-sama bertujuan menciptakan otonomi bagi penyelenggaraan pendidikan tinggi, BHMN dan BHP sebenarnya memiliki perbedaan yang sangat mencolok. Kalau pada BHMN masih dikenal kata ’milik negara’, maka, tidak demikian dengan BHP. Dengan BHP, negara sama sekali tidak memiliki peran apapun. Maka jadilah perguruan tinggi (PT) seperti sebuah corporate, atau dalam terminologi HAR Tilaar ditengarai sebagai upaya Mcdonaldisai (baca: mekdonalisasi) pendidikan. Dengan status BHMN, maka universitas memiliki kebebasan mencari biaya sebagai alternatif pengurangan subsidi dari pemerintah. Alternatif tersebut antara lain dengan menaikan SPP dan sistim penerimaan mahasiswa dengan jalur khusus. Lalu bagaimana dengan praktek BHMN di Unhas?

Sadar atau tidak sadar, praktek BHMN telah terjadi di unhas. Kenaikan SPP secara berturut-turut pada tahun 2002 dan 2003 menjadi indikasi atas itu. Hal yang paling mencolok adalah sistem penerimaan mahasiswa jalur khusus. Pada tahun 2001 di Fakultas Kedokteran Gigi menerapkan sistem penerimaan tersebut. Menyusul fakultas kedokteran dan fakultas kesehatan masyarakat. Tentu saja dengan jumlah SPP yang berbeda dengan mahasiswa yang diterima dengan jalur SPMB dan JPPB. Pada perkembangan selanjutnya, maka hampir semua fakultas dan jurusan memberikan kesempatan kepada orang ’kaya’ untuk masuk ke unhas dengan jalur khusus. Tentu dengan harga bandrol kursi yang mencapai puluhan juta. Hal lain yang sangat mencengangkan adalah semakin gencarnya komersialisasi fasilitas kampus. Hal ini sangat mencederai hak mahasiswa unhas terhadap penggunaan fasilitas kampus. Seharusnya yang lebih tepat dikenakan biaya atas fasilitas tersebut adalah institusi non unhas yang menggunakan fasilitas tersebut.

Mereduksi Tanggung Jawab Negara

Salah satu poin penting dalam pembukaan UUD 1945 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu, setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan minat dan bakat yang dimiliknya tanpa memandang status sosial, ras, etnis, agama, dan gender. Hal ini menjadi menarik jika ditelaah lebih jauh. Pembukaan UUD 1945 tersebut, mengisyaratkan adanya tanggung jawab negara dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa lewat pendidikan. Soedijarto, ketua Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia mengatakan bahwa, hampir tidak ada negara di dunia yang dalam Undang-Undang Dasarnya menempatkan kata mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagai salah satu kewajiban konstitusional pemerintah, selain Indonesia. Artinya, semangat kemunculan negeri ini juga didasari dengan keharusan untuk mencerdaskan warganya. Sayangnya, amanat UUD 1945 tersebut sangat kontra-realita dengan kondisi pendidikan kita saat ini. Pendidikan kita hari ini (oleh negara) cenderung dipersepsikan sebagai sebuah industri, yang siap memproduksi robot-robot yang mengabdi kepada kepentingan kapitalisme.

Komersialisasi dan privatisasi menjadi potret buram pengelolaan pendidikan kita hari ini. Maka, diformatlah institusi pendidikan menjadi BHMN atau BHP. Transformasi perguruan tinggi menjadi BHMN dan BHP merupakan bentuk lepas tanggung jawab negara terhadap persoalan pendidikan. Hal ini menjadi ironi, betapa tidak, pemerintah lebih rela mengorbankan dana ratusan triliun guna menyelamatkan bank swasta yang hampir bangkrut, ketimbang membenahi pendidikan kita yang terpuruk. HAR Tilaar menilai bahwa kemunculan kebijakan otonomi pendidikan bermula dari desakan lembaga donor, dalam hal ini International Monetary Fund (IMF). Dalam pandangan IMF, sektor pendidikan hanya memboroskan anggaran belanja negara saja. Dengan demikian, asumsi pemerintah tentang otonomi perguruan tinggi dapat meningkatkan kulaitas pendidikan hanyalah isapan jempol belaka. Alih-alih peningkatan kualaitas pendidikan, justru konsep otonomi perguruan tinggi (PT) ditengarai sebagai muslihat pemerintah untuk melepaskan tanggung jawabnya. Indikasi lepas tanggung jawab pemerintah, yakni dengan mengurangi subsidi untuk PT berstatus BHMN atau tak disubsidi untuk PT (yang akan) BHP. Krisis pendidikan kita hari ini telah mencapai puncak ketidak berdayaan. Akibatnya, pendidikan kita kehilangan visi mencerdaskan karena didorong oleh nafsu komersialisasi yang begitu menggebu-gebu

Praktek BHMN di Unhas

Walau sama-sama bertujuan menciptakan otonomi bagi penyelenggaraan pendidikan tinggi, BHMN dan BHP sebenarnya memiliki perbedaan yang sangat mencolok. Kalau pada BHMN masih dikenal kata ’milik negara’, maka, tidak demikian dengan BHP. Dengan BHP, negara sama sekali tidak memiliki peran apapun. Maka jadilah perguruan tinggi (PT) seperti sebuah corporate, atau dalam terminologi HAR Tilaar ditengarai sebagai upaya Mcdonaldisai (baca: mekdonalisasi) pendidikan. Dengan status BHMN, maka universitas memiliki kebebasan mencari biaya sebagai alternatif pengurangan subsidi dari pemerintah. Alternatif tersebut antara lain dengan menaikan SPP dan sistim penerimaan mahasiswa dengan jalur khusus. Lalu bagaimana dengan praktek BHMN di Unhas?

Sadar atau tidak sadar, praktek BHMN telah terjadi di unhas. Kenaikan SPP secara berturut-turut pada tahun 2002 dan 2003 menjadi indikasi atas itu. Hal yang paling mencolok adalah sistem penerimaan mahasiswa jalur khusus. Pada tahun 2001 di Fakultas Kedokteran Gigi menerapkan sistem penerimaan tersebut. Menyusul fakultas kedokteran dan fakultas kesehatan masyarakat. Tentu saja dengan jumlah SPP yang berbeda dengan mahasiswa yang diterima dengan jalur SPMB dan JPPB. Pada perkembangan selanjutnya, maka hampir semua fakultas dan jurusan memberikan kesempatan kepada orang ’kaya’ untuk masuk ke unhas dengan jalur khusus. Tentu dengan harga bandrol kursi yang mencapai puluhan juta. Hal lain yang sangat mencengangkan adalah semakin gencarnya komersialisasi fasilitas kampus. Hal ini sangat mencederai hak mahasiswa unhas terhadap penggunaan fasilitas kampus. Seharusnya yang lebih tepat dikenakan biaya atas fasilitas tersebut adalah institusi non unhas yang menggunakan fasilitas tersebut.

Mereduksi Tanggung Jawab Negara

Salah satu poin penting dalam pembukaan UUD 1945 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu, setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan minat dan bakat yang dimiliknya tanpa memandang status sosial, ras, etnis, agama, dan gender. Hal ini menjadi menarik jika ditelaah lebih jauh. Pembukaan UUD 1945 tersebut, mengisyaratkan adanya tanggung jawab negara dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa lewat pendidikan. Soedijarto, ketua Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia mengatakan bahwa, hampir tidak ada negara di dunia yang dalam Undang-Undang Dasarnya menempatkan kata mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagai salah satu kewajiban konstitusional pemerintah, selain Indonesia. Artinya, semangat kemunculan negeri ini juga didasari dengan keharusan untuk mencerdaskan warganya. Sayangnya, amanat UUD 1945 tersebut sangat kontra-realita dengan kondisi pendidikan kita saat ini. Pendidikan kita hari ini (oleh negara) cenderung dipersepsikan sebagai sebuah industri, yang siap memproduksi robot-robot yang mengabdi kepada kepentingan kapitalisme.

Komersialisasi dan privatisasi menjadi potret buram pengelolaan pendidikan kita hari ini. Maka, diformatlah institusi pendidikan menjadi BHMN atau BHP. Transformasi perguruan tinggi menjadi BHMN dan BHP merupakan bentuk lepas tanggung jawab negara terhadap persoalan pendidikan. Hal ini menjadi ironi, betapa tidak, pemerintah lebih rela mengorbankan dana ratusan triliun guna menyelamatkan bank swasta yang hampir bangkrut, ketimbang membenahi pendidikan kita yang terpuruk. HAR Tilaar menilai bahwa kemunculan kebijakan otonomi pendidikan bermula dari desakan lembaga donor, dalam hal ini International Monetary Fund (IMF). Dalam pandangan IMF, sektor pendidikan hanya memboroskan anggaran belanja negara saja. Dengan demikian, asumsi pemerintah tentang otonomi perguruan tinggi dapat meningkatkan kulaitas pendidikan hanyalah isapan jempol belaka. Alih-alih peningkatan kualaitas pendidikan, justru konsep otonomi perguruan tinggi (PT) ditengarai sebagai muslihat pemerintah untuk melepaskan tanggung jawabnya. Indikasi lepas tanggung jawab pemerintah, yakni dengan mengurangi subsidi untuk PT berstatus BHMN atau tak disubsidi untuk PT (yang akan) BHP. Krisis pendidikan kita hari ini telah mencapai puncak ketidak berdayaan. Akibatnya, pendidikan kita kehilangan visi mencerdaskan karena didorong oleh nafsu komersialisasi yang begitu menggebu-gebu

Mengapa Kita (harus) Menolak BHP?

Dalam konteks Unhas, akhir-akhir ini perdebatan mengenai BHP, hanya sebatas perhitungan untung-rugi ketika BHP direalisasikan. Padahal, perdebatan tersebut belumlah menyentuh pada persoalan yang lebih substansi, yakni landasan hukumnya. Tentu saja dengan tidak bermaksud mengkerdilkan hasil diskusi dan kajian sebahagian kawan-kawan kita pada tataran tersebut. Bahkan penulis sendiri meyakini, bahwa salah satu pemicu perjuangan kita dalam menolak BHP adalah pertimbangan untung dan rugi. Tentu saja yang menjadi titik tekan dalam menyorot BHP adalah persoalan ketidakadilan. Ketidakadilan yang dimaksud adalah persoalan pemerataan dan kesempatan mendapatkan pendidikan ketika BHP direalisasikan di unhas. Oleh karena itu, perjuangan kita dalam konteks menolak BHP, justru semakin memiliki daya dobrak sekiranya jika dilandasi dengan tinjauan hukum yang kuat.

Menurut Rama Pratama anggota komisi XI (komisi anggaran) DPR RI, Realisasi anggaran untuk pendidikan tahun 2006 lalu hanya sebesar 9,1 % dari APBN. Dalam kaitannya dengan itu, Mahkamah Konstitusi menyatakan ketidak setujuannya terhadap pemerintah dalam merealisasikan anggaran pendidikan yang tidak sesuai dengan UUD 1945. Dalam surat keputusannya yang bernomor, MK No. 026/PUU-III/2005 Tanggal 22 Maret 2006 menyatakan dua poin. Pertama, menyatakan UU No.13/2005 tentang APBN 2006 sepanjang menyangkut anggaran pendidikan sebesar 9,1% sebagai batas tertinggi, maka bertentangan dengan UUD 1945. Kedua, Menyatakan UU No.13/2005 tentang APBN 2006 sepanjang menyangkut anggaran pendidikan sebesar 9,1% sebagai batas tertinggi, maka tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

Dalam konstitusi negara kita yakni UUD 1945 telah menekankan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan (Pasal 31 ayat 1). Sementara itu, dalam amandemen UUD 1945 pasal 31 ayat 4 yang berbunyi Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”. Demikian halnya juga dalam UU No 20 tentang Sisdiknas pasal 49 ayat 1 yang berbunyi “Dana Pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari APBD”. Oleh karena itu, maka tidak ada alasan bagi pemerintah untuk menunda realisasi anggaran pendidikan 20% dari APBN dan APBD.

Dari landasan hukum tersebut, maka jangankan RUU BHP yang jelas-jelas belum menjadi Undang-Undang, produk yang sudah menjadi Undang-Undang saja akan gugur dengan sendirinya oleh konstitusi negara UUD 1945. Oleh karenanya, praktek BHP merupakan praktek haram pendidikan kita. Ia lahir dari semangat perselingkuhan dengan kapitalisme global. Dengan merealisasikan 20% anggaran pendidikan sesuai dengan amanat amandemen UUD 1945, maka praktek privatisasi dan komersialisasi tidak perlu ada. Oleh karenanya, menolak merealisasikan amanat tersebut, sama saja melawan konstitusi negara, serta dapat dianggap subversif. Maka dari itu, tidak ada alasan rasional untuk kita melegalkan privatisasi pendidikan (BHP), apalagi-oleh salah satu pembatu rektor- meminta (lembaga) mahasiswa membuat konsep BHP versi mahasiswa. Satu-satunya yang harus kita lakukan adalah menolak BHP di negeri ini.

[Read More...]


Pakaian Renang Khusus Muslimah




Menciptakan baju renang khusus untuk para Muslimah, bukan tanpa tantangang di Australia. Karena pendesain baju renang itu, Aheda Zanetti, mengaku mendapat ancaman agar tidak mempromosikan baju renang Muslimnya itu.
Saya mendapat ancaman dibunuh lewat telepon yang bunyinya 'jika kamu berani mengiklankannya lagi di surat kabar, saya pastikan bahwa kamu...., " ungkap Zanetti.

Baju renang hasil disain Zanetti memang menimbulkan kontroversi di Australia, Namun ia menyatakan bahwa baju renangnya itu mendapat dukungan dari ulama terkemuka di Australia, Syaikh Taj Aldin al-Hilali. Dengan bangga, ia menunjukkan sertifikat persetujuan atas produk-produknya yang diberikan Hilali, meski diakuinya, sebagai ulama Hilali tidak bisa bicara dengan semua warga Muslim.

"Sebagai pemimpin keagamaan, dia adalah seorang pemimpin yang baik. Tapi sebagai jurubicara, atas nama warga Muslim Australia, saya pikir dia bukan orang yang tepat untuk bicara. Itu bukan tugasnya, " tukas Zanetti.

Ia mengatakan, tidak ada ulama lain yang akan memberikan persetujuan atas burqini, sebutan baju renang yang didisainnya.

Hilali sendiri pernah memicu kontroversi di Australia ketika ia menyamakan kalangan perempuan yang cara berpakaiannya terbuka dengan apa yang ia sebut "daging yang tidak ditutupi."


Baju renang khusus Muslimah yang didisain Zanetti-muslimah berjilbab keturun Libanon ini-terdiri dari dua bagian dilengkapi dengan penutup kepala. Dengan adanya baju renang yang didisain khusus ini, para Muslimah di Australia bisa berenang di pantai bahkan menjadi anggota tim penyelamat pantai.



"Banyak gadis-gadis dan kaum perempuan yang kehilangan aktivitas berolahraga termasuk berenang. Tidak ada yang pantas dikenakan buat mereka, jika ingin ikut serta dalam kegiatan olahraga, " ujar Zanetti pada AFP, Rabu (17/1).

"Dan kalau mereka berpartisipasi dalam olah raga dengan mengenakan jilbab, atau apapun yang ingin mereka kenakan, tidak ada yang benar-benar pas buat mereka. Bahannya tidak cocok, disainnya juga tidak cocok, " papar perempuan yang mengaku mendapatkan ide mendisain burqini ketika melihat keponakan perempuannya yang berjilbab bermain bola keranjang.

Burqini diambil dari kata burqa dan bikini. Bahannya dibuat dari polyester dilengkapi dengan pelindung air dan ultraviolet. Baju renang burqini, menutup semua bagian tubuh, kecuali tangan, telapak kaki dan wajah.

Perusahaan Zanetti di Punchbowl, Sydney, kini menerima ratusan pesanan birqini dari penjuru Australia, bahkan dari luar negeri yang harganya antara 160 sampai 200 dollar Australia. (ln/iol)Menciptakan baju renang khusus untuk para Muslimah, bukan tanpa tantangang di Australia. Karena pendesain baju renang itu, Aheda Zanetti, mengaku mendapat ancaman agar tidak mempromosikan baju renang Muslimnya itu.

"Saya mendapat ancaman dibunuh lewat telepon yang bunyinya 'jika kamu berani mengiklankannya lagi di surat kabar, saya pastikan bahwa kamu...., " ungkap Zanetti.

Baju renang hasil disain Zanetti memang menimbulkan kontroversi di Australia, Namun ia menyatakan bahwa baju renangnya itu mendapat dukungan dari ulama terkemuka di Australia, Syaikh Taj Aldin al-Hilali. Dengan bangga, ia menunjukkan sertifikat persetujuan atas produk-produknya yang diberikan Hilali, meski diakuinya, sebagai ulama Hilali tidak bisa bicara dengan semua warga Muslim.

"Sebagai pemimpin keagamaan, dia adalah seorang pemimpin yang baik. Tapi sebagai jurubicara, atas nama warga Muslim Australia, saya pikir dia bukan orang yang tepat untuk bicara. Itu bukan tugasnya, " tukas Zanetti.

Ia mengatakan, tidak ada ulama lain yang akan memberikan persetujuan atas burqini, sebutan baju renang yang didisainnya.

Hilali sendiri pernah memicu kontroversi di Australia ketika ia menyamakan kalangan perempuan yang cara berpakaiannya terbuka dengan apa yang ia sebut "daging yang tidak ditutupi."

Baju renang khusus Muslimah yang didisain Zanetti-muslimah berjilbab keturun Libanon ini-terdiri dari dua bagian dilengkapi dengan penutup kepala. Dengan adanya baju renang yang didisain khusus ini, para Muslimah di Australia bisa berenang di pantai bahkan menjadi anggota tim penyelamat pantai.

"Banyak gadis-gadis dan kaum perempuan yang kehilangan aktivitas berolahraga termasuk berenang. Tidak ada yang pantas dikenakan buat mereka, jika ingin ikut serta dalam kegiatan olahraga, " ujar Zanetti pada AFP, Rabu (17/1). "Dan kalau mereka berpartisipasi dalam olah raga dengan mengenakan jilbab, atau apapun yang ingin mereka kenakan, tidak ada yang benar-benar pas buat mereka. Bahannya tidak cocok, disainnya juga tidak cocok, " papar perempuan yang mengaku mendapatkan ide mendisain burqini ketika melihat keponakan perempuannya yang berjilbab bermain bola keranjang.

Burqini diambil dari kata burqa dan bikini. Bahannya dibuat dari polyester dilengkapi dengan pelindung air dan ultraviolet. Baju renang burqini, menutup semua bagian tubuh, kecuali tangan, telapak kaki dan wajah.

Perusahaan Zanetti di Punchbowl, Sydney, kini menerima ratusan pesanan birqini dari penjuru Australia, bahkan dari luar negeri yang harganya antara 160 sampai 200 dollar Australia. (ln/iol)

Tulisan ini diambil dari situs Eramuslim
[Read More...]


Popular Posts

Popular Posts Widget
Widget By Devils Workshop
 

Categories

Recent Comments

Stay Connected

http://www.text-link-ads.com/xml_blogger.php?inventory_key=L6TKZHMZ15BNNYYQULG7&feed;=2

About Me

My Photo
aryantoabidin
Welcome to my blog. Aryanto Abidin. That is my original name, while cyber name for this blog. I just ordinary people who are learning to read and understand the existence and I think about indonesiaan.
View my complete profile

Popular Posts

Return to top of page Copyright © 2010 | Platinum Theme Converted into Blogger Template by HackTutors