Meneropong Proyek Peradaban yang Terbengkalai





Judul Buku : Pendidikan, Proyek Peradaban yang Terbengkalai
Penulis : HAR Tilaar dkk
Editor : Irsyad Ridho
Penerbit : Transbook
Cetakan Pertama : Agustus 2006
Tebal : 148 hlm + XX

Proyek peradaban yang terbengkalai. Mungkin, kalimat itulah yang tepat untuk menggambarkan kondisi pendidikan kita saat ini. Kompleksnya praktek penyelenggaraan pendidikan, seolah menambah terpuruknya dunia pendidikan kita. Sebut saja praktek komersialisasi pendidikan yang mengejala akhir-akhir ini. Kenyataan ini justru menciderai hak anak-anak bangsa untuk menikmati pendidikan yang layak. Privatisasi dan komersialisasi merupakan jalan pintas-untuk tidak disebut sebagai bentuk lepas tanggung jawab pemerintah-yang diambil pemerintah untuk memperbaiki kualitas pendidikan. Padahal langkah tersebut sangat kontra produktif dengan kondisi masyarakat kita yang masih membutuhkan uluran tangan pemerintah dalam hal penddikan. Konsep privatisai sesungguhnya pada awalnya dipraktekan oleh negara-negara yang sudah mapan dalam hal perekonomian. Sementara dalam konteks ke-Indonesiaan, kita belum siap ke arah itu. Tentu saja masih banyak variabel pendukung lain yang perlu dikaji selain parameter pertumbuhan ekonomi.

Permasalahannya tidak sampai di situ. UU No. 20 tahun 2003 tentang sisdiknas justru dianggap sebagai biang kerok lahirnya Badan Hukum Pendidikan (BHP) dengan mencantumkan pasal 53 tentang BHP. Kalau ditelaah lebih jauh, rupa-rupanya BHP ditengarai sebagai bentuk lepas tanggung jawab pemerintah terhadap proyek peradaban kita (baca: pendidikan). Hal inilah yang memunculkan keresahan para pemerhati pendidikan kita. Keresahan-keresahan tersebut, diwujudkan dalam bentuk buku ang berjudul ”Pendidikan, Proyek Peradaban yang Terbengkalai”. Buku ini merupakan hasil renungan dan analisa yang mendalam dari masing-masing penulis. Walau buku ini merupakan tulisan ’keroyokan’, namun tidak mengurangi kualitas dan ketajaman analisa dalam meneropong pendidikan kita. Beberapa penulis tersebut diantaranya HAR Tilaar, Winarno Surachmad, Ki Supriyoko, Arief Rachman, Anhar Gonggong, Emanuel Subangun serta penulis lainnya yang tak kalah tajam dalam menganalisis masalah pendidikan.

Buku ini terbagai dalam tiga bagian. Bagian pertama menyoroti Universitas dan pendidikan. Bagian kedua menyoroti peranan guru dengan tema besar Guru dan Perubahan Sosial. Sedangkan pada bagian terakhir, lebih menyorot kepada masalah kebijakan pendidikan kita. Melihat dari tema utama masing-masing bagian buku tersebut, maka jelaslah maksud dari buku ini. Buku ini seolah mengaskan kondisi pendidikan kita hari ini yang begitu terpuruk. Dalam membedah kondisi perguruan tinggi (PT), justru akan menjadi ’sexy’ ketika membaca bagian pertama buku ini. Hal ini digambarkan secara gamblang oleh HAR Tilaar dalam tulisannya yang berjudul Mcdonaldisasi Perguruan Tinggi. Menurut HAR Tilaar, PT kita hari ini mempraktekan prinsip-prinsip franchise dari perusahan cepat saji Mc Donald. Keempat prinsip tersebut yaitu efisiensi, kalkulabilitas (mengedepankan perhitungan untung-rugi), prediktabilitas (memprediksi untung–rugi), dan kontrol (kontrol penyandang dana).

Sementara itu, ketika kita menyelami tulisan Ubaidillah Badrun dalam buku ini, sepertinya kita menemukan kondisi ril universitas kita. Ia memberi judul tulisannya dengan judul ’Kultur Universitas’. Ubaidillah menilai, bahwa universitas kita jauh dari kulturnya sebagai sebuah universitas. Dimana universitas adalah tempat bersemayamnya ide-ide. Ia melihat bahwa kultur universitas dibangun atas tiga kultur. Pertama adalah kultur intelektual, dimana lebih menekankan pada upaya memaksimalkan penggunaan akal (pikiran dan nurani) yang kemudian diwujudkan dalam bentuk kegiatan membaca, merenung, menulis, berdiskusi, dan menliti. Maksimalisasi kelima kegiatan tersebut, seharusnya menjadi tradisi yang mewatak pada setiap sivitas akademika. Sehingga dengannya, dimungkinkan akan lahir gagasan baru yang konstruktif bagi kepentingan rekayasa sosial, termasuk temuan-temuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua, kultur demokrasi. Demokrasi harus dipahami sebagai sebuah bentuk untuk menghapus praktek-praktek dan ide-ide authoritarian (dominasi penguasa terhadap rakyat). Kalau ditransformasikan dalam konteks PT, berarti menghilangkan dominasi birokrasi kampus terhadap mahasiswa. Sehingga dengannya dapat dijadikan pisau analisis dalam membedah praktek dan ide authoritarian dalam ruang-ruang kelas. Ketiga, kultur profesiaonal. Ia menilai, bahwa pengelola kampus kurang profesional dalam memberikan pelayanan kepada mahasiswa dan terkadang cenderung menghambat.

Semua yang dikemukakan para penulis dalam buku ini, merupakan cermin betapa terpuruknya pendidikan saat ini. Buku ini memiliki analisa yang tajam dan terkadang provokatif. Buku ini sangat menarik bagi siapa saja yang peduli dengan nasib pendidikan anak bangsa. Kita berharap, sumbangan pemikiran para penulis buku ini, mampu memberikan sumbangsih yang berarti dalam menuntaskan proyek peradaban kita yang terbengkalai. Semoga!.

Wakil Presiden BEM Unhas
[Read More...]


Peringatan Hari Ibu, Seremonial yang nir-Makna (Refleksi Hari Ibu 22 Desember 2006)



Oleh: Aryanto Abidin

Tanggal 22 Desember merupakan hari yang bersejarah bagi kaum perempuan indonesia, terkhusus untuk kaum ibu. Betapa tidak, 47 tahun lalu tepatnya tahun 1959 presiden Soekrano menetapkan tanggal tersebut sebagai hari Nasional. Berawal dari bertemunya para pejuang wanita yang mengadakan kongres perempuan pada tahun 1928. Organisasi perempuan sendiri sebenarnya sudah lahir sejak tahun 1912. Kongres organisasi-organisasi perempuan pertama kali diadakan di Yokyakarta pada tanggal 22 Desember 1928. Kongres tersebut dikenal sebagai kongres perempuan namun kongres tersebut lebih dikenal sebagai Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Selanjutnya kongres serupa diadakan di Jakarta dan Bandung. Pada tahun 1950, pertama kalinya wanita menjadi menteri. Yang menjadi menteri pada waktu itu adalah Maria Ulfa. Momen tersebut merupakan momen yang sanagt penting bagi kaum perempuan. Pada masa pra kemerdekaan, kongres peempuan sangat berperan aktif dalam perjuangan kemerekaan serta terlibat dalam pergerakan internasional. Di sini terlihat jelas bagaimana peran mereka dalam perpolitikan indonesia.

Sayangnya semangat perempuan pendahulu mereka, justru berbanding terbalik dengan kondisi perempuan dalam konteks ke-kinian. Saat sekarang perempuan lebih disibukan oleh perdebatan yang nir-makna. Isu persamaan hak menjadi perdebatan yang selalu mengisi ruang dan waktu kaum perempuan. Padahal ruang untuk itu sebenarnya sudah sangat terbuka lebar. Permasalahannya bukan pada tertutupnya ruang atau akses bagi kaum perempuan, akan tetapi lebih kepada siapa yang mampu merebut kesempatan atau peluang itu. Celakanya lagi, momen-momen seperti ini (baca: hari ibu dan hari kartini) tidak dimaknai secara esensi atau spirit yang melatar belakangi lahirnya sejarah tersebut. Justru yang terjadi sebaliknya, perayaan-perayaan tersebut justru dimaknai hanya sebatas seremonial tahunan dan hanya bersifat simbolik saja. Lomba memasak, lomba hias penganten, lomba dance, lomba berkebaya, lomba mirip perempuan oleh waria, yang kesemuanya ini merupakan ritual simbolik yang sering kita lihat di kota maupun di sudut-sudut kampung. Padahal, kalau mereka mau sedikit membuka tabir sejarah, sesungguhnya mereka akan menemukan bagaimana heroiknya mereka dalam membela tanah air ini. Sayangnya itu semua menjadi lembar sejarah tanpa tersingkap sedikitpun oleh perempuan sekarang. Hari ibu hanya dimaknai dalam hal peran domestik (kasur, dapur, sumur dan mengurus anak). Misalnya saja, karena bertepatan dengan hari ibu, maka kita ramai-ramai memberikan penghormatan dengan membebas tugaskan ia dari rutinitas domestik. Padahal, itu hanyalah simbolis yang tanpa makna, bahkan terkesan ada unsur kasihannya.


Ibu Sebagai Sentrum Peradaban

Kalau anda tidak keberatan, maka saya berani mengatakan bahwa salah satu keajaiban dunia adalah perempuan. Bayangkan saja sesungguhnya peradaban dunia ini bermula dari mereka. Setiap perlakuan kita terhadap perempuan, maka itu akan mempengaruhi perilaku bayi yang dikandungnya. Artinya peradaban dan madrasah pertama, itu dimulai dari perempuan. Sayangnya tidak banyak orang yang memahami hal ini. Kasus kekerasan dalam dalam rumah tangga yang sering dilakukan oleh laki-laki (para suami), justru semakin akrab di keseharian kita. Media pun tak berhenti memberitakannya. Kasus pembunuhan atau pembuangan anak kandung oleh ibu kandungnya sendiri lantaran kehadirannya di muka bumi tak dikehendaki, juga semakin marak. Dan yang lebih menghebohkan lagi adalah seorang ibu yang tega membakar anak kandungnya lalu memakannya. Padahal seorang ibu harus memainkan perannya dalam mendesain pelaku peradaban. Agar tunas-tunas peradaban itu menjadi pewaris peradaban yang tangguh, sehingga mereka bisa mengemban amanah peradaban ke depannya. Maka tidak ada salahnya juga kalau kita mengatakan bahwa ibu adalah sentrum peradaban. Kepada ibu peradaban, saya ucapkan selamat hari ibu. Dan tak lupa pula, kepada perempuan yang telah menuntaskan masa kesendiriannya (menikah), selamat menikmati menjadi ibu.
[Read More...]


Muslim Negarawan dan Relevansinya dengan Masyarakat Madani (Civil Society)



Muslim Negarawan dan Relevansinya dengan Masyarakat Madani (Civil Society)
Oleh: Aryanto Abidin


Cita-cita Masyarakat madani/beradab (civil society) merupakan cita-cita yang teramat mulia untuk dipraksiskan dalam kehidupan bermasyarakat kita. Cita-cita ini sesungguhnya merupakan cita-cita yang teramat renta untuk didambakan kehadirannya. Model masyarakat madani pernah dicontohkan oleh Rasulullah Saw ketika memimpin Madinah. Dimana pada masa itu hubungan antara rakyat dengan pemerintah (vertical) begitu mesra, serta hubungan antar masyarakat (horizontal) dari berbagai latar belakang (suku, agama dan ras) juga begitu mesra. Hasilnya, begitu mengagumkan. Kehidupan masyarkat pada masa itu terjalin begitu harmonis. Lalu bagaimana posisi dan peran konsepsi masyarakat madani atau apapun varian padanan katanya, sehingga ia begitu didambakan dalam menyelesaikan problem social dalam masyarakat kita?. Adie Usman Musa memberikan batas yang jelas, bahwa makna substantif masyarakat madani akan menjadi relevan, jika dalam masyarakat ada rasa saling menghargai yang namanya pluralitas, perbedaan, dan saling percaya (trust) antar masyarakat. Masyarakat madani atau masyarakat sipil, merupakan sisi lain dari upaya masyarakat untuk menemukan bentuknya yang ideal dalam tataran lokal maupun global. Masih menurut Adie Usman Musa, bahwa masyarakat madani hádala masyarakat yang juga toleran dan membuka diri terhadap berbagai pandangan yang berbeda antar mereka di berbagai belahan dunia. Makna substantif inilah yang hingga kini masih belum dilihat banyak pihak ketika memperdebatkan masalah masyarakat madani. Banyak kalangan hingga kini masih curiga bahwa konsepsi civil society merupakan bentuk lain dari sebuah hegemoni ideologi tunggal liberalisme-kapitalisme. Kecurigaan ini boleh-boleh saja sebagai sebuah sikap kritis dan kehati-hatian. Namun, yang lebih penting adalah bagaimana warga dunia mampu merumuskan proses masa depan yang lebih baik bagi kemanusiaan.

Adi Usman Musa juga menegaskan bahwa masyarakat madani tentunya bukan hanya sebuah gambaran ideal tentang cita praktek kehidupan bersama, tetapi lebih dari itu, ia merupakan sesuatu “yang ada di sini”, yang dekat dengan kehidupan kita. Masyarakat madani dipenuhi oleh berbagai penghampiran praksis kehidupan masyarakat. Artinya, ia harus mampu menjawab berbagai kebutuhan praksis masyarakat seperti basis material, rasa keadilan, dan sebagainya. Dengan demikian, ia pun bukanlah wacana yang hanya ada di dalam ide. Konsepsi ini juga memberikan banyak kemungkinan bagi kita untuk melihat hal-hal yang bersifat keindonesiaan. Masyarakat Indonesia terkenal sebagai masyarakat yang sangat majemuk, baik dari sisi budaya, suku bangsa, dan agama. Keragaman ini merupakan sebuah potensi yang bisa kita gunakan untuk membangun kapasitas masyarakat madani di tanah air. Namun demikian, ia juga menyimpan potensi konflik yang bisa meledak setiap saat.

Atas dasar itulah, sampai hari ini semua orang masih menjadikan masyarakat madani sebagai referensi ideal dalam membangun pola kehidupan berbangsa dan bernegara. Pertanyaannya sekarang, mampukah kita menciptakan masyarakat madani tersebut? Sehingga dengannya akan tercipta hubungan yang saling menghargai atau saling toleransi. Pertanyaan tersebut sungguh menggelitik dan terdengar sangat pesimistik. Sah-sah saja bila penulis menganggap pertanyaan tersebut teramat pesimistis. Betapa tidak, kakacauan dan tindakan anarkis masih mewarnai keseharian masyarakat kita. Seolah hal tersebut telah menjadi rutnitas yang lumrah. Hal ini-mengutip pendapat Sigmund Freud-disebabkan karena manusia memiliki yang namanya id atau nafsu al-amarah yang mengusik manusia untuk selalu berbuat jahat. Potensi id ini tentu tidak hadir begitu saja. Dia bisa hadir dengan rupa yang begitu sangar (id negatif) juga hadir dalam rupa yang ramah (id positif). Oleh karenanya Tuhan mengkombinasikannya dengan akal agar manusia mampu berpikir. Hal ini sebagaimana yang dimaksud oleh Farhan Hilmi HS dan A. Yohan MSDM bahwa kuncinya adalah tergantung pada: Apakah manusia mampu berfikir rasional, sehingga muncul dari dirinya kesadaran untuk mengedepankan tugas kekhalifaan, ataukah dia telah terkuburkan oleh id sehingga tugas untuk mencapaikan kebenaran menjadi terkubur.

Oleh karenanya, setiap elemen-elemen civil society (Pemerintah, agama, tokoh masyarakat, NGO, Student Movement) diharapkan mampu memainkan perannya masing guna mengupayakan dan mengawal terciptanya nilai-nilai kearifan dalam masyarakat kita. Dalam perspektif gerakan mahasiswa, terkhususnya yang mengatasnamakan KAMMI, telah memformulasikan sebuah konsep yang dengannya diharapkan akan mampu memainkan peran (sesuai dengan kompetensinyanya masing-masing) dalam menciptakan nilai-nilai kearifan dalam masyarakat kita. Konsep tersebut adalah konsep Muslim Negarawan. Konsep ini disinyalir mampu memberikan tawaran solusi terhadap lunturnya nilai kearifan dalam masyarakat kita terkhususnya generasi muda kita. Walau sebenarnya dalam lingkup KAMMI konsep ini baru merupakan tahap trial and error sebagai wujud sebuah ijtihad. Oleh karenanya, keberhasilan konsep ini tentu tidak bisa kita harapkan dalam jangka waktu singkat. Hal ini tentu membutuhkan evaluasi, sampai dimana tingkat keberhasilannya. Maka dari itu, tidaklah terlalu berlebihan jika sekiranya konsep muslim negaram memiliki relevansi atau berkaitan dalam upaya mewujudkan masyarakat madani/beradab.

Deskripsi Muslim Negarawan

Dalam risalah kaderisasi manhaj 1427 H yang dirumuskankan oleh tim kaderisasi KAMMI pusat, ada beberapa poin penting yang menjadi titik tekan dalam mendesain kader KAMMI. Point penting tersebut adalah KAMMI mampu menciptakan kader yang berorientasi pada profil muslim negarawan. Profil muslim negarawan dalam definisi risalah tersebut adalah kader KAMMI yang memiliki basis ideologi Islam yang mengakar, basis pengetahuan dan pemikiran yang mapan, idealis dan konsisten, berkontribusi pada pemecahan problematika umat dan bangsa, serta mampu menjadi perekat komponen bangsa pada upaya perbaikan. Ada tiga hal yang merupakan syarat utama munculnya sosok Muslim Negarawan yang memiliki keberpihakan pada kebenaran dan terlatih dalam proses perjuangannya diantaranya adalah mereka yang terlahir dari gerakan Islam yang tertata rapi (quwwah al-munashomat), semangat keimanan yang kuat (ghirah qawiyah) dan kompetensi yang tajam.

Dalam upaya membangun capasitas personal (personal capacity building) kader KAMMI, maka perlu adanya pembangunan kompetensi kritis sebagaimana yang penulis kutip dalam panduan kaderisasi KAMMI pusat. Secara aplikatif sosok kader muslim negarawan harus memiliki kompetensi kritis yang harus dilatih sejak dini. Kompetensi kritis ini adalah kemampuan dasar yang harus dimiliki kader yang dirancang sesuai kebutuhan masa depan sebagaimana yang dirumuskan di dalam Visi Gerakan KAMMI. Terdapat lima kompetensi kritis yang harus dimiliki kader KAMMI, sebagai berikut ini: 1) Pengetahuan Ke-Islam-an, Kader harus memiliki ilmu pengetahuan dasar keislaman, ilmu alat Islam, dan wawasan sejarah dan wacana keislaman. Pengetahuan ini harus dimiliki agar kader memiliki sistem berpikir Islami dan mampu mengkritisi serta memberikan solusi dalam cara pandang Islam. 2)Kredibilitas Moral, Kader memiliki basis pengetahuan ideologis, kekokohan akhlak, dan konsistensi dakwah Islam. Kredibilitas moral ini merupakan hasil dari interaksi yang intensif dengan manhaj tarbiyah Islamiyah serta implementasinya dalam gerakan (tarbiyah Islamiyah harakiyah). 3)Wawasan ke-Indonesia-an, Kader memiliki pengetahuan yang berkorelasi kuat dengan solusi atas problematika umat dan bangsa, sehingga kader yang dihasilkan dalam proses kaderisasi KAMMI selain memiliki daya kritis, ilmiah dan obyektif juga mampu memberikan tawaran solusi dengan cara pandang makro kebangsaan agar kemudian dapat memberikan solusi praktis dan komprehensif. Wawasan ke-Indonesia-an yang dimaksud adalah penguasaan cakrawala ke-Indonesia-an, realitas kebijakan publik, yang terintegrasi oleh pengetahuan interdisipliner. 5)Kepakaran dan profesionalisme, Kader wajib menguasai studi yang dibidanginya agar memiliki keahlian spesialis dalam upaya pemecahan problematika umat dan bangsa. Profesionalisme dan kepakaran adalah syarat mutlak yang kelak menjadikan kader dan gerakan menjadi referensi yang ikut diperhitungkan publik. 6)Kepemimpinan,Kompetensi kepemimpinan yang dibangun kader KAMMI adalah kemampuan memimpin gerakan dan perubahan yang lebih luas. Hal mendasar dari kompetensi ini adalah kemampuan kader beroganisasi dan beramal jama’i. Sosok kader KAMMI tidak sekedar ahli di wilayah spesialisasinya, lebih dari itu ia adalah seorang intelektual yang mampu memimpin perubahan. Di samping mampu memimpin gerakan dan gagasan, kader pun memiliki pergaulan luas dan jaringan kerja efektif yang memungkinkan terjadi akselerasi perubahan.6)Diplomasi dan Jaringan, Kader KAMMI adalah mereka yang terlibat dalam upaya perbaikan nyata di tengah masyarakat. Oleh karena itu ia harus memiliki kemampuan jaringan, menawarkan dan mengkomunikasikan fikrah atau gagasannya sesuai bahasa dan logika yang digunakan berbagai lapis masyarakat. Penguasaan skill diplomasi, komunikasi massa, dan jaringan ini adalah syarat sebagai pemimpin perubahan.

Konsep Muslim Negarawan dan Relevansinya dengan Cita-cita civil society

Setelah kita memahami tentang deskripsi profil muslim negarawan, maka pertanyaan radikal yang patut kita lontarkan adalah, dimana letak relevansinya antara muslim negarawan dengan cita-cita civil society (masyarakat beradab)?. Relevansi antara keduanya memiliki keterkaitan yang sangat kuat. Hal tersebut tertuang jelas dalam landasan filosofis gerakan KAMMI yang terjabarkan dalam bentuk misi gerakan KAMMI yakni:
a.Membina keislaman, keimanan, dan ketaqwaan mahasiswa muslim Indonesia.
b.Menggali, mengembangkan, dan memantapkan potensi dakwah, intelektual, sosial, dan politik mahasiswa.
c.Mencerahkan dan meningkatkan kualitas masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang rabbani, madani, adil, dan sejahtera.
d.Memelopori dan memelihara komunikasi, solidaritas, dan kerjasama mahasiswa Indonesia dalam menyelesaikan permasalahan kerakyatan dan kebangsaan.
e.Mengembangkan kerjasama antar elemen masyarakat dengan semangat membawa kebaikan, menyebar manfaat, dan mencegah kemungkaran (amar ma`ruf nahi munkar).

Kelima poin di atas jelas memiliki relevansinya dengan cita-cita masyarakat madani-tentu saja kalu kita mengacu pada posisi dan peran konsepsi masyarakat madani yakni masyarakat yang menghargai pluralitas, perbedaan, dan saling percaya (trust) antar masyarakat. Posisi dan peran tersebut, tentu tidak hadir dengan begitu saja dengan hanya membaca mantra sim salabim lalu hadirlah peran tersebut. Menurut penulis, manusia butuh kearifan untuk menyadari peranya dalam membumikan nilai-nilai ketuhanan tersebut (khalifah). Dalam kapsitas sebagai mahasiswa islam, maka pada poin a tersebut tergambar secara implisit tentang hubungan person dengan sang khalik guna melahirkan kearifan dalam setiap pribadi mahasiswa islam. Pun demikian halnya dengan mereka yang berbasis gerakan di luar islam. Pada poin b jelas menunjukan kapasitas personal yang berfungsi sebagai skill untuk melakukan perubahan dan pencerdasan kepada masyarakat sehingga memiliki kesamaan visi akan perannya sebagai kalifah. Sedangkan pada poin c lebih dititik beratkan pada peran KAMMI sebagai bagian dari civil society guna mewujudkan nilai-nilai masyarakat beradab. Pada poin c merupakan upaya KAMMI dalam upaya menghargai pluralitas, perbedaan dan saling percaya yakni dengan memelopori dan memelihara komunikasi, solidaritas dan kerjasama antar sesama elemen mahasiswa indonesia. Demikina juga dengan makna yang terkandung pada poin e dimana tersiat semangat perubahan (quwwatut thaghiir) yang cukup kental.

Kesimpulan

Untuk mewujudkan masyarakat madani maka dibutuhkan kearifan setiap individu sehingga mampu bersikap dan memainkan peran menghargai pluralitas, perbedaan, dan saling percaya (trust) antar masyarakat. Kesadaran itu akan muncul jika sekiranya setiap pribadi memiliki visi dan misi sebagai khalifah di muka bumi ini atau dengan kata lain mampu membumikan nilai-nilai ketuhanan dalam kehidupan sehari-hari. Namun visi dan peran sebagai khalifah tidak akan lahir begitu saja. Di sinilah peran berbagai elemen civil society (tokoh masyarakat, tokoh agama, NGO, Student Movement) dalam memberikan pencerahan dan penyadaran kepada masyarakat, akan arti pentingnya menghargai perbedaan dan saling percaya. Oleh karena itu, KAMMI sebagai salah satu kekuatan civil society yang beridiologi islam juga harus mampu memainkan peran tersebut. Sehingga dengannya, diharapkan akan mampu menciptakan tatanan masyarakat yang beradab, yakni masyarakat yang menjujung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan kebenaran universal. Wallahualambishawaab

Daftar Referensi

Adie Usman Musa, Mimpi Perubahan dan Cita Ideal Masyarakat Madani

Adi Suryadi Culla, Masyarakat Madani (pemikiran, teori dan relevansinya dengan cita-cita reformasi), Rajawali Pers, Jakarta, 2002

Aryanto Abidin, Menuju Muslim Negarawan, Jurnal AKSI, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Daerah Sulsel, edisi maret 2006

Anen Sutianto, Reaktualisasi Masyarakat Madani Dalam Kehidupan

" href="http://www.policy.hu/suharto/modul_a/makindo_16.htm">Edi Suharto Msc, Dr, Masyarakat Madani: Aktualisasi Profesionalisme Community Workers Dalam Mewujudkan Masyarakat Yang Berkeadilan

KAMMI, Risalah Manhaj Kaderisasi 1427 H Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Pusat, Jakarta, 2005

Farhan Hilmi HS dan A. Yohan MSDM dalam sebuah pengantar Spiritualitas Sosial Untuk Masyarakat Beradab (Catatan di era Otoritarianisme,)YPSK, Yogyakarta, 1999

" href="http://www.depdiknas%20go.id/">Saefur Rochmat, Masyarakat Madani: Dialog Islam dan Modernitas di Indonesia
[Read More...]


Popular Posts

Popular Posts Widget
 

Categories

Recent Comments

Stay Connected

http://www.text-link-ads.com/xml_blogger.php?inventory_key=L6TKZHMZ15BNNYYQULG7&feed;=2

About Me

My Photo
aryantoabidin
Welcome to my blog. Aryanto Abidin. That is my original name, while cyber name for this blog. I just ordinary people who are learning to read and understand the existence and I think about indonesiaan.
View my complete profile

Popular Posts

Return to top of page Copyright © 2010 | Platinum Theme Converted into Blogger Template by HackTutors