Syndroma of Literer (Fenomenologi komunitas “antik” : WD17)



Seri tafsir ke-kita-an. Karena
kita adalah ke-aku-an yang majemuk


Syndroma of Literer
(Fenomenologi komunitas “antik” : WD17)

Entah sudah berapa buah buku yang sudah saya baca, yang secara khusus membahas tentang menulis. Hingga akhirnya saya jenuh membacanya., dan saya pun berkesimpulan menulis tidak cukup dengan teori. Akan tetapi memulai menulis itu adalah resep yang paling mujarab. Dapat pula kita ajukan pertanyaan, entah sudah berapa buku yang membahas tentang budaya menulis. Atau entah sudah berapa banyak penulis yang menulis tentang menulis. Perkembangan dunia kepenulisan yang begitu “dahsyat” dan dinamis membuat orang berbondong-bondong berkiblat kepada dunia literer. Dunia yang dulunya sangat “tabu” untuk dilakoni, bahkan terkesan “najis” untuk disentuh. Celakanya lagi dunia kepenulisan-dulunya-hadir dalam rupa yang superioritas yakni milik mereka yang bergelut di dunia sastera. Sekarang, dunia kepenulisan begitu akrab dengan keseharian kita, menembus ruang dan waktu serta batas usia. Maka jangan heran bila ada anak-anak usia TK atau SD sudah populer dalam menulis. Buku yang membahas tentang menulis bertebaran di sudut-sudut toko. Bahkan saking banyaknya pecandu literer: litereoholic (baca: pelaku, penikmat dan penyuka dunia kepenulisan) jenis-jenis tulisan pun bermunculan bahkan mebentuk mazhab-mazhab baru dalam dunia kepenulisan.

Hal ini tentu tidak bisa kita lepaskan dari pengaruh peradaban yang berjalan sangat dinamis, linear dengan pola pikir manusia yang dinamis. Setiap gerbong sejarah, tentu melahirkan ciri khas masing-masing. Misalnya saja dalam dunia sastera Indonesia. Kita diperkenalkan dengan beberapa mazhab. Ada yang namanya sastra zaman pujangga lama, zaman pujangga baru dan zaman modern serta abad millennium (coba ingat kembali pelajaran bahasa dan sastra Indonesia waktu kita masih SD – SMA, pasti nyambung deh!).

Dari segi tema pun, juga sangat beragam. Mulai dari tema (picisan) cinta, heroic, Gender, konflik, social, hingga menyerempet ke urusan ranjang dan kelamin. Sebut saja Jakarta Under Cover (Muamar Emka), Jangan Main-Main dengan Kelaminmu (Djenar Mahesa Ayu), Larung (Ayu Utami), Kampus Under Cover (Lupa nama Penulisnya), Sex in the Kost (Iip Wijayanto). Tema-tema seperti ini laris manis di era 2000-an. Dalam konteks kekinian, khususnya di Indonesia, mazhab itu begitu menonjol. Untuk Indonesia, trend menulis sekarang adalah berkiblat pada kehidupan remaja yang gaul, anak sekolahan dll. Model tulisan seperti ini yang kemudian disebut sebaga Teenlets. Tapi, dalam tulisan ini, saya tidak sedang ingin membahas mazhab-mazhab tulisan atau menggurui anda tentang menulis. Sekali lagi: “Tidak”,titik! nggak pake koma. Untuk persolan ini saya tidak cukup kapabel untuk memperbincangannya. Saya tidak ingin “merampas” hak mereka yang lebih mafhum dengan hal ini.

Fenomenologi komunitas antic: syndrome of literer and discus

Lalu, apa yang hendak saya bahas dalam tulisan ini. Begini!, saya mengamati akhir-akhir ini “libido” menulis rekan-rekan saya, semakin menggebu-gebu. Setidaknya itu terlihat dari majalah tembok (Mabok), ralat, majalah dinding maksudnya, yang sudah tak kuasa lagi menahan huruf demi huruf. Yang kemudian menyusun menjadi kata, lalu kemudian terangkai menjadi kalimat yang apik, lalu membangun satu kesatuan kalimat, hingga disebut sebagai sebuah karya tulis (mau mi’ diganti kodong gabusnya, ganti ki’ dengan yang lebih besar lagi). Bukankah hal tersebut merupakan sesuatu yang fenomena kawan? Mereka menisbatkan diri dalam sebuah komunitas “antik” D17. Antik? Iya, antik. Emang kenapa? Ada yang salah ya? Mereka yang sering singgah-entah untuk melakukan apa saja-dan tinggal di D 17, mereka itulah komunitas antik. Demikianlah mereka saya sebut. Baik, kita mulai. Tapi mulai dari mana ya? Oh, saya baru dapat ide. Jangan berpaling dulu.

Komunitas antik Wesabbe D17 (WD17), demikianlah saya menyebutnya. Komunitas ini bukan tempat kongko-kongko. Bukan pula komunitas yang biasa-biasa aja. Mereka bergerak dan berbuat di atas rel-rel dakwah menuju sebuah tujuan mulia: menggapai ridha-Nya untuk kejayaan islam. Komunitas ini unik. Penunggunya (baca: orang yang menetap dan sering bermalam di D17), pun unik. Uniknya, karena beberapa hari yang lalu kami seperti kahilangan ide dan motivasi lantaran tidak bersentuhan dengan tuts keyboard computer, dikarenakan computer yang kami pakai diambil kembali oleh si empunya. Mungkin terindikasi syndrome literer. Sebuah sindrom ketagihan menulis atau ada kecemasan ketika tidak menulis. Demikian diagnosa awal saya (cie…, kaya dokter aja). Tapi yang pasti, sekarang computer KAMDA dah bagus dan bisa dipake buat nulis-nulis.

Banyak alasan kenapa orang harus menulis. Tapi sebahagian besarnya mengarah kepada satu kesimpulan: aktualisasi diri. Lantas, apa yang salah dengan aktualisasi diri? Over acting kah hal tersebut? Tidak! Sah-sah saja kok jika seseorang keranjingan menulis. Menurut saya itu hal yang fitrawi. Bahkan Abraham Maslow yang juga kita kenal dengan teori Jembatan Maslow nya, menempatkan aktualisasi diri adalah kebutuhan yang utama dan mendasar bagi manusia dibandingkan dengan kebutuhan lainnya (kebutuhan primer, sekunder dan tersier). Hanya saja, menulis dalam ruang publik butuh pertanggung jawaban (acountability), sehingga tulisan menjadi lebih bermakna. Bagi aktivis dakwah, Intinya jangan sembarang menulis, apalagi tulisanya sesat lagi menyesatkan (he…99x. Kaya fatwa ulama saja).

Bagi komunitas antik (antic-ers), menulis adalah suatu keharusan atau sesuatu yang wajib. Tiap hari harus ada karya yang lahir dari kamar kita masing-masing. Makanya antic-ers ini mencoba menginisiasi dan memberi contoh kepada kader-kader KAMMI untuk menumbuhkan budaya literer ini. Jangan hanya menulis karena keterpakasaan. atau hanya karena membayar iqob. Tulis aja, seolah tanpa beban. Biarkan pikiran kita mengembara dan salurkan lewat tuts keyboard. Demikianlah komunitas antic-ers ini berkarya. Hal-hal yang (biasa dianggap) sepelepun juga diwacanakan untuk kemudian didiskusikan. Masalah apa saja, tidak peduli apakah masalah tersebut substansi atau tidak. Dalam ruang diskusi terjadi dialetika. Artinya ada komunikasi dua arah. Dalam ruang dialetika, tidak mengenal masalah itu substansi atau tidak substansi. Sebab, dalam ruang diakletika tidak ada yang tidak substansi. Semuanya serba substansi. Begitulah uniknya antic-ers. Sekali lagi jangan phobia dengan diskusi. Dari diskusi, input informasi akan tertananm dalam ingatan kita, kemudian kita tumpahkan kembali dalam bentuk tertulis. Luar biasa!. Inilah komunitas antik. Mereka memilih menikahi tuts keyboard dan monitor komputer untuk membunuh dinginnya malam, serta saat syndrome ingin menikah mulai mampir di ubun-ubun. Proses berpikir terbangun dari sini, sehingga otak tidak tumpul.

Fenomenologi komunitas antic: Style, character and behavior

Dari segi penampilan aja, masing-masing nggak matching. Ada yang celananya di atas mata kaki, ada yang berpenampilan seperti preman, tapi untungnya berhati Stinky, ada yang body nya terlalu over (Boge= Body gede maksudnya), ada yang seperti Kutilang (Kurus tinggi langsing maksudnya). Ada juga yang punya waktu khusus untuk tidur: tidur pagi. Pokonya macam-macam deh. Dari sifat dan karakter apalagi. Ada yang tawadhu sekali, ada yang diam-diam menghanyutkan, ada yang sensitif, ada yang suka terbawa emosi, ada yang karakternya keras, ada juga yang berkarakter kapitalis lantaran selalu minta ditraktir tanpa kontribusi sedikitpun, intinya pake teori asas manfaat (he...3x, ini kebiasaan buruk Bro! Tapi ukhuwah kita masih ada kan?). Demikian julukan yang diberikan oleh salah seorang diantara kami.

Dialog antara sifat dan karakter keakuan yang majemuk tersebut, membuat para komunitas antic (antic-ers) harus bisa mendefinisikan ulang keakuannya masing-masing. Hal ini perlu, agar tidak terjadi benturan, sehingga melahirkan ke-kita-an. Untuk itu diperlukan kesalingpahaman. Makanya saya menuliskannya agar kita menyadari, bahwa ada yang perlu diperbaiki dari diri kita. Tapi meskipun demikian, nuansa keakraban juga lahir dari karakter yang majemuk. Tulisan ini juga dimaksudkan untuk mengobati syndrome literer yang sedang menjangkiti saya. Wallahu’alambishowaab.

No copyright. Silahkan dibajak habis-habisan. Pelanggaran terhadap tulisan ini, tidak akan dikenai pasal apa-apa, apalagi pasal pembajakan. Maaf tulisan ini belum dipublikasikan apalagi best seller, karena memang tidak niat untuk diperjual belikan apalagi diperdagangkan (tetap aja sama maknanya Bung!!!). Sepertinya saya harus menulis nama nih! agar nggak dituduh yang macam-macam. Saya Aryanto Abidin. Jabatan:bukan siapa-siapa kok.

Pantangan membaca tulisan ini: Dilarang membaca diam-diam, Jangan baca saat marah atau kesal, Nggak boleh syirik, Tulisan ini adalah pengantar tidur, makanya jangan baca kalo kamu lagi sedang serius. Saya menulis tulisan ini saat saya sedang bosan, makanya tulisan ini juga membosankan (nggak mutu, tau. Tulisan ini nggak konsisten, bawaannya serius, eh…, ujung-ujungnya ngawur coy!. Masih mau ko’!!.
[Read More...]


Halo, Apa Kabar Ospek?



Halo, Apa Kabar Ospek?
Oleh: Aryanto Abidin

Jika hati anda bergetar melihat penindasan, maka lawanlah
sebab diam adalah bentuk penghianatan

(Ernesto ‘Che’ Guevara)

Halo!, apa kabar Ospek?. Masihkah kau seperti dulu?. Masihkah kekerasan sebagai make-up yang membungkus wajahmu? masihkah kekerasan menjadi pemanis ritualmu?. Prosesi penyambutan Mahasiswa Baru kalau tidak ingin disebut ‘Mangsa Baru’ bagi senior-seniornya. Betapa tidak, setiap mahasiswa baru mendapat perlakuan yang sangat tidak etis bahkan bisa dikatakan saling berjabat tangan dengan pelanggaran HAM (Penindasan,pemerasan dan kekerasan). Prosesi penyambutan mahasiswa baru atau yang lebih sakralnya disebut “OSPEK”, kini lagi marak-maraknya. Di kampus merah ini pun persiapan untuk penyambutan sudah disiapkan jauh-jauh hari. Bahkan konon kabarnya lebih baik program kerja yang lainnya tidak jalan ketimbang Ospek. Ospek seperti kita ketahui bersama sangat rentan dan memberi peluang bagi terjadinya kekerasan. Meskipun banyak pihak yang menentang ospek, namun hal itu dianggap angin lalu dan ospekpun “melenggang kangkung” menuai kekhawatiran di kalangan orang tua mahasiswa baru.

Dasar kita (baca: mahasiswa) memang tak pernah kehilangan akal. Dengan susah payah demi terlaksananya Ospek, lembaga-lembaga mahasiswa-pun menggagas yang namanya Ospek damai (mudah-mudahan bisa damai lahir maupun batin).

Untuk mempersiapkan ospek ini, lembaga-lembaga mahasiswa tingkat fakultas sudah memformatnya dua hingga tiga bulan sebelumnya. Bahkan untuk menciptakan Ospek Damai, mereka (baca: lembaga-lembaga Mahasiswa) sampai ‘Jatuh Bangun’ untuk membentuk suatu forum formal demi ter-Legitimate-nya kembali Ospek. Siapa sih yang mau melewatkan momen ospek ini ?. Selain merupakan lahan produktif untuk mengais rejeki nomplok, bagi senior-senior yang ingin ‘senter-senter’ maka ospeklah tempatnya. Bagi yang suka ‘pajak-pajak’ untuk sebungkus rokok atau satu botol Coca Cola, maka ospeklah tempatnya. Bagi senior-senior yang ‘Gila Hormat’, sangat sayang untuk melewatkan momen yang berharga ini.

Bagi para orang tua Mahasiswa Baru, ada kebanggan tersendiri di hati mereka sekaligus kedukaan yang mendalam. Kebanggan mereka adalah ketika mereka melihat nama anak-anak mereka terpampang di surat kabar atau pada saat hari pengumuman SPMB. Kedukaan mereka adalah ketika mendengar nama ospek. Ya, Ospek. Kata yang terdiri dari lima huruf ini tak jarang membuat ciut nyali. Ospek merupakan momok yang menakutkan yang kadang-kadang mengundang air mata, meminta darah, cacat fisik, dan tak jarang meminta nyawa tiap tahunnya sebagai tumbal egoisme senior. Anehnya lagi, seolah-olah peristiwa tersebut direstui pikiran dan hati nurani kita yang turut ambil bagian maupun yang memberi lampu hijau bagi terlaksananya ritual tersebut. Adakah hati kita bergetar melihat penindasan di depan mata kita. Maka kalau memang hati kita sudah seperti batu yang kokoh, lalu apa bedanya kita dengan binatang ?, atau bahkan lebih rendah daripada binatang. Mungkin kalimat tersebut tidak berlebihan karena mengingat manusia dibekali akal dan perasaan untuk memancarka nilai-nilai kemanusiaan di sekeliling kita. Bukankah tujuan penciptaan manusia dimuka bumi ini untuk menjadi khalifah?, dengan tujuan membumikan nilai-nilai ketuhanan. Kenapa kita tidak mencoba menghadirkan nilai-nilai ketuhanan dalam setiap aktivitas kita.

Kampus (katanya) merupakan tempat ilmiah, kini berubah menjadi pusat ‘berhala-berhala’ baru, dimana manusia yang ada di dalamnya cenderung ingin mempertontonkan dirinya sebagai Tuhan. Dalam kaitannya dengan ritual tahuanan ini kita akan dingatkan tentang dongeng Lucifer. Ya!, Lucifer sang malikat jahat yang diusir dari surga, kemudian menjadi manusia yang berperawakan tampan dan gagah diatas muka bumi ini yang setiap saat sangat haus akan darah. Mungkin seperti itulah kita sekarang ini. Di Unhas sendiri sejak berdirinya sampai sekarang, entah sudah berapa banyak darah, air mata, cacat fisik, dan nyawa yang dipersembahakan untuk memuja roh egoisme dalam ritual tahunan tersebut. Para orang tua Maba harus menelan ludah ketika anaknya menyodorkan daftar perlengkapan ospek yang mirip dengan daftar menu yang ada di hotel-hotel mewah. Ditambah lagi dana kelembagaan, yang bila semuanya dijumlahkan bisa melampaui uang pendidikan selama satu semester. Ingat kawan, Orang yang menginjakan kakinya (baca: kuliah) di Unhas ini bukanlah orang-orang dari golongan menengah ke atas saja. Ada beragam golongan yang kuliah di Unhas ini dan dengan berbagai latar belakang ekonomi yang beragam pula. Ada yang ekonominya menengah ke atas, kelas menegah dan kelas menengah ke bawah, mungkin aku masuk golongan yang terakhir ini. Bagi golongan menengah atas, uang sebesar ratusan ribu mungkin hanyalah jumlah nominal tagihan telepon mereka tiap bulan. Akan tetapi bagi golongan menengah ke bawah, jumlah nominal tersebut harus dengan bercucuran keringat atau pontang-panting meminjam ke tetangga. Kalupun kedua alternatif tersebut sudah tidak mungkin, mungkin jalan terakhir adalah meminjam pada rentenir dengan tawaran bunga yang tinggi yang kian hari kian membengkak.

Mereka harus rela menunggu anaknya di gerbang-gerbang fakultas hanya untuk menantikan detik-detik terakhir episode pembantaian tersebut. Mereka tidak pernah bermimpi bahwa sesampainya anak-anak mereka di pintu gerbang kampus, kemerdekaan mereka direnggut, darah mengalir, pulang dengan cacat pada bagian tubuh ataupun nyawa melayang. Toh mereka tetap tabah, hanya air matalah yang menjadi luapan emosi mereka. Dimana nurani kemanusiaan kita?. Apakah untuk membentuk karakter mahasiswa baru yang militant, kritis dan tercerahkan harus dengan kekerasan?. Tidak. Sekedar catatan, bahwa kekerasan tidak akan pernah membentuk pribadi yang militant, kritis dan tercerahkan akan tetapi justru akan membentuk karakter preman di kalangan mahasiswa baru serta melahirkan penindas-penindas baru dalam kampus ini. Sepertinya hal ini akan menjadi rantai setan yang sangat sulit diputuskan jika nuansa kekerasan masih mewarnai di setiap prosesi penyambutan mahasiswa baru. Ingat!, untuk membentuk karakter mahasiswa baru yang militant, kritis, dan tercerahkan tidak cukup dalam waktu hitungan hari akan tetapi butuh waktu dan proses yang lama.

Bagi orang tua Maba, ketika menyaksikan anaknya menjadi mahasiswa setidaknya memberi sedikit harapan atas mimpi-mimpi mereka tentang masa depan anaknya. Ospek yang memang sudah masuk dalam ‘buku hitam’ orang tua Mahasiswa Baru, bahkan sudah menjadi catatan kebencian bagi mereka. Seandaianya mereka diminta untuk menulisnya, maka Ia akan menuliskannya pada lembaran pertama buku hitamnya dengan menggunakan tinta berwarna “ sedih dan prihatin”.

Tindakan yang yang tidak sepantasnya dilakukan oleh sosok yang berlebel mahasiswa (Penidasan,pemerasan bahkan sampai pada pelecehan……???). Mahasiswa ! ya mahasiswa, konon kabarnya kelompok The middle Class yang satu ini mengkalaim dirinya sebagai kelompok yang anti penidasan, kelompok yang mewakili orang-orang tertindas, kelompok yang mewakili suara rakyat. Saya sangat ngeri ketika saya mengklaim diri saya sebagai orang yang anti penindasan lewat sumpah mahasiswa. Sumpah yang diucapakan secara lisan dan tidak pernah dimaknai itu, hanyalah formalitas atau ritual belaka ketika seseorang pertama kali memakai baju kebesarannya yang di depannya bertuliskan mahasiswa dan dengan dada membusung, kita tampil sebagai hero kesiangan. Saya takut nanti kita (baca: Mahasiswa) di cap sebagai ‘maling’, maksud saya maling teriak maling. Di satu sisi kita benci yang namanya penindasan dan kroni-kroninya, akan tetapi di lain pihak kita sendirilah yang mempeloporinya. Bahkan kita mengabadikannya dalam sebuah sumpah, Sumpah Mahasiswa. Ya…! Sumpah Mahasiswa yang sudah mulai mengalami distorsi makna dan esensinya ini. Adalah bukan hal yang tidak mungkin ketika dua puluh tahun atau tiga puluh tahun yang akan datang sumpah mahasiswa tidak dibutuhkan lagi, baik dari segi makna mapun dari esensi. Atau mungkin sebaiknya diganti dengan sumpah binatang, [Kami mahasiswa Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa binatang], [Kami mahasiswa Indonesia mengaku bertanah air satu, tanah air penindasan] [Kami mahasiswa Indonesia mengaku berbahasa satu bahasa kekerasan]. Wallahualambishawaab.

[Read More...]


Malu Aku Bicara Komitmen



Malu Aku Bicara Komitmen

Oleh: Aryanto Abidin


Beberapa hari terakhir ini, saya begitu resah. Resah dengan segala yang membuat saya resah. Bahkan hampir-hampir Tuhan pun saya abaikan. Sepertinya, untuk permasalahan ini, saya harus istighfar sebanyak-banyaknya (maafkan aku Tuhan. Ijinkan aku mencintaimu sekali lagi). Keresahan itu selalu mengganggu pikiran dan jiwa saya. Resah dengan negeri ini, resah dengan manusia indonesia, resah dengan perempuan indonesia, resah dengan penguasa dan pejabat di negeri ini. Resah dengan mahasiswa indonesia, resah dengan prilaku primitif mahasiswa makassasr, resah dengan kampusku yang nir-makna dan nir-nilai, dimana idealisme dipecundangi. Ruang dialog tertutup rapat, dosen yang arogan dan masih banyak kebejatan-kebejatan lain yang lahir dari kampus kita. Maka jangan heran, ada mahasiswa yang mengaku aktivis, padahal aktivis karbitan. Ada juga yang mengaku aktivis, membela yang tertindas tapi uang bencana Aceh pun dibawa kabur. Atau mengaku aktivis untuk menggombal si mahasiswi. Ada lagi yang lebih hancur, ada aktivis yang bicara serba ideal kalo dalam forum. Eh, setelah diluar forum berperilaku bejat. Alih-alih menanamkan idealisme pada adik-adik angkatannya, eh, ternyata ujung-ujungnya minta alamat dan nomor ponsel/telepon (bersyukurlah anda tidak menjadi korbannya). Makanya kamu harus hati-hati dengan senior yang seperti ini. Mungkin inilah gambaran dari produk kampus yang bejat dan nir-makna serta jauh nilai-nilai akademis dan moralitas. Apakah ini bentuk komitmen yang tercederai dari sebuah istitusi pendidikan?

Ada hal yang saya lupa sebutkan. Tentu saja, saya harus resah dengan diri sendiri. Resah dengan masa depan saya, resah dengan ilmu yang selama ini saya tekuni. Saya selalu dikejar-kejar dan diteror oleh pertanyan-pertanyaan, akankah saya mampu mempertanggung jawabkannya ketika harus bersentuhan dengan masyarakat? Saya juga resah dengan status kemahasiswaan saya. Akankah kita tetap eksis setelah tidak lagi menjadi penguasa (baca:mahasiswa) di kampus? Mampukah kita melakukan perubahan sosial dalam masyarakat kita? Fenomena post power syndrome (baca:sebuah ketakutan atau kecemasan setelah tidak lagi berkuasa) merupakan pil pahit yang membunuh asa dan semangat saya (mungkin juga anda). Akankah ini adalah gejala runtuhnya bangunan idealisme yang saya bangun terhadap pilihan saya, perlahan mulai terkikis?. Sepertinya, untuk urusan yang satu ini, saya tidak akan membiarkan kepada waktu utuk menjawab atau menuntaskan semua ini.

Keresahan saya semakin memuncak. Awal Juli lalu, ponsel saya disesaki oleh missed call nomor misterius. Tukang missed call gelap ini mengusik saya hampir setiap hari dalam seminggu. Padahal saya tidak pernah membangun ruang konflik dengan siapapun. Atau memberikan ruang untuk tumbuhnya apa yang disebut dengan Virus Merah Maroon (VMM) (ini usulan baru untuk dijadikan sebuah terminologi). Hingga sampai-sampai si tukang missed call tersebut berani-beraninya mengunkapkan-lewat SMS- bahwa ia fall in love ke saya (“lho kok saya jadi bahas yang ginian sih. ga mutu, tau nggak?”). Apa ini nggak gila? Peristiwa ini membuat saya harus merenung dan banyak introspeksi diri. Bahkan berkeping tanya selalu memburu nalar saya. Apa penampilan saya kurang meyakinkan untuk disebut sebagai ustadz? Hingga si tukang missed call tadi berani-beraninya menyatakan fall in love ke saya. Jenggot sudah ada, titik hitam di jidat ada juga. Lalu kurang apalagi dari saya? Oh, saya tahu!!. Mungkin celana saya kurang menggantung. Atau baju koko tidak menempel di badan saya. Mungkikah ini adalah wujud komitmen yang terrenggut? Hingga untuk menegaskan identitas saja begitu separuh napas dalam mempraksiskannya. Sayapun berkesimpulan, ternyata untuk menciptakan identitas tidak cukup dengan simbol.

O ya, saya hampir lupa. Ada lagi yang membuat saya resah. Resah dengan sebuah komunitas. Komunitas yang selama ini tempat saya mencurahkan waktu, tenaga dan pikiran saya. Sebuah kominitas yang begitu komitmen menegakan kalimat ilahiyah dan selalu berpegang teguh pada sunnah Rasul. Komunitas tersebut adalah komunitas tarbiyyah.. Demikianlah komunitas yang saya maksud. Doktrin-doktrin dakwah begitu kental yang selalu mewarnai orang-orang yang tergaung dalam komunitas ini. Ukhuwah yang juga merupakan rukun ke sembilan dalam rukun bai’at menjadi perekatnya. Komitmen dan konsisten menjadi kata sakti yang bertebaran di setiap rapat-rapat. Kadang-kadang saya bertanya, seperti apa sih komitmen yang kita maksud? Hingga kita begitu mudah mengobralnya tanpa mepertimbangankannya masak-masak. Apa ini yang disebut dengan Asbun (baca: asal bunyi), “tong kosong cantik bunyinya” (meminjam judul tulisan salah seorang akhwat). Eh, salah ya?. Tong kosong nyaring bunyinya. Yang ini yang betul.

Bagi saya, kata komitmen adalah kata yang sakral. Ia adalah totalitas. Lalu pertanyaannya kemudian, dimana letak sakralnya? Seperti yang saya sebutkan tadi, letak sakralnya sebuah komitmen adalah pada totalitasnya. Ketika kita berbicara totalitas, maka ada beberapa variabel yang harus kita pegang erat-erat. Beberapa variabel tersebut adalah ikhlas, pengorbanan, amal atau kerja nyata, ketaatan, dan dedikasi. Ketika kita melafalkan tentang komitmen, maka kitapun harus melakoni variabel di atas. Tentu, kita juga harus siap dengan segala konsekwensi yang akan muncul di kemudian hari. Oleh karenanya, setiap pilihan sadar kita adalah totalitas. Karna, kalau tidak seperti itu, kita akan ditertawakan oleh peradaban. Sehingga diharapkan nantinya, tidak ada lagi wilayah yang abu-abu dalam menjalaninnya.

Kadang kita tidak pernah berpikir bahwa amanah itu akan jatuh pada pundak kita. Apalagi kalau sudah bersentuhan dengan doktrin dakwah. Maka, seribu satu alasanpun yang diungkapkan menjadi gugur tatkala kepentingan dakwah begitu menginginkan kita. Kenapa demikian? Karena dalam logika jamaah, satu-satunya yang berharga adalah kadernya atau anggotanya. Tapi ingat!, dakwah tak kenal henti, ada dan tidak adanya kita di dalamnya. Kalimat itu begitu nyaring di telinga saya. Menampar seisi jiwa, untuk tersadarkan kembali dan mengingat masa-masa manis bersama iman dan ruhiyyah yang kokoh. Bahkan saya harus berfikir ulang untuk mencoba menghianatinya (baca:dakwah). Namun, saya harus menggugat ulang kepada mereka yang menggunakan doktrin tersebut hanya ingin dibilang sebagai militan atau pejuang dakwah. Sementara dalam tataran pelaksanaannya bernyali ciut, bermental krupuk. Maka, jangan pernah menolak amanah dakwah itu. Menyakitkan memang!, disaat kita sedang bergelimangan amanah, sementara di sisi lain mereka yang menyebut dirinya juga “aktivis dakwah” begitu terlena dengan rutinitas mereka. Maka sayapun bertanya-tanya, apa iya kita akan mampu berkomitmen seperti itu?. Saya kadang ragu dengan itu semua. Indikasinya jelas. Menolak amanah salah satu contohnya. Atau jangan-jangan doktrin tersebut hanya pepesan kosong. Maka, saya mencoba meminjam istilah teman saya “nggak usah banyak ngomong Bos!”. Kalau memang anda punya komitmen, maka saya mencoba memenggal kalimat dalam sebuah iklan rokok, mana ekspresi lu?.

Kemerdekaan berpikir, melahirkan tulisan ini. Ya Allah jika jalan dakwah ini begitu panjang, maka berikan kami kekuatan untuk sampai pada jalan tersebut.Ya Allah, jika beban dakwah ini begitu berat,

maka kuatkanlah punggung kami untuk menerima beban tersebut. Jangan bersedih anak muda. Biarkan Rabb-mu saja yang menghapus peluh dan segala keluh kesahmu mu.t


[Read More...]


Luka itu Milik Siapa?



Ada tanya mulai memburu: mengapa harus ada luka?
Tapi kenapa tidak kau tanyakan: darimana luka itu?
Sudikah kita melihat kuntum-kuntum iman
yang sedang layu di taman-taman dakwah
Sekedar mengokohkannya untuk tetap teguh
Lalu menuai kuntum-kuntum yang baru

Kawan!
Sepertinya, ada yang mencuri ukhuwah kita pagi ini
Saat doa Rabitha lupa mengoyak sunyi
Sebagai kado iman untuk saudara-saudara kita
Hingga malam menyembunyikan siang
Sampai waktu akan terus menjaga mereka

Kawan!
Mengapa ada tanya: mengapa harus ada luka?
Mengapa tanya itu harus memecah telinga?
Tidakah kau tanya: untuk apa tanya itu?
Sepertinya tanya itu hanya menorehkan memar di jiwaku
Membuat luka yang teramat lebar di hatiku
Aku hanya berharap, semoga waktu menyembuhkan lukaku

Aku masih saja disiksa pertanyan
Dan engkaupun harus ungkapkan tanya: luka itu milik siapa?
Ah, sepertinya tanya ini hanya miliku saja
Mungkin juga rasa ini rasaku jua


Kamar kontempelasi, rumah sejuta ide, Wesabbe D 17
Kamis, 3 Agustus 2006 Jam 8 pagi


Saat matahari pagi menyemburkan sinar keagungannya,
menebar rezki kepada siapa saja. Saat waktu mulai luruh.
Saat sekertariat ini mulai disesasaki dengan rapat,
walau sesekali membuyarkan kontempelasiku.
Saat nalarku masih menyimpan tanya itu.
Saat jiwaku masih saja resah dengan tanya itu.
Maka akupun memilih menuntaskan resahku dengan
bait (puisi) picisan ini. Untuk itulah puisi ini tercipta.

[Read More...]


Popular Posts

Popular Posts Widget
 

Categories

Recent Comments

Stay Connected

http://www.text-link-ads.com/xml_blogger.php?inventory_key=L6TKZHMZ15BNNYYQULG7&feed;=2

About Me

My Photo
aryantoabidin
Welcome to my blog. Aryanto Abidin. That is my original name, while cyber name for this blog. I just ordinary people who are learning to read and understand the existence and I think about indonesiaan.
View my complete profile

Popular Posts

Return to top of page Copyright © 2010 | Platinum Theme Converted into Blogger Template by HackTutors